Alumuni FIB UI kecam sikap Salihara atas Sitok Srengenge
"Tindakan itu merupakan pengkhianatan terhadap kebebasan sehingga jelas bahwa Salihara telah gagal merawat kebebasan."
Meski telah menerima pengunduran diri Sitok Srengenge, Komunitas Salihara tetap dikecam dalam menyikapi kasus dugaan pencabulan oleh mantan kuratornya tersebut. Kali ini kecaman datang dari Solidaritas Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).
"Kami mengecam Salihara yang tidak tegas menindak Sitok Srengenge, atas penyalahgunaan nama institusi oleh dirinya sebagai kurator Salihara, untuk memperdayai korban," kata Juru Bicara Solidaritas Alumni FIB UI, Wisnu Suryapratama, lewat siaran pers, Jumat (6/12).
Wisnu mengatakan, Salihara telah sangat menyepelekan masalah yang ditimbulkan oleh Sitok Srengenge, yang membawa nama komunitas seni itu dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan.
"Salihara yang mengklaim diri hendak 'Bersama Publik Merawat Kebebasan' nyata-nyata melakukan pembiaran atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukan seorang kuratornya," tegas Wisnu.
"Tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap kebebasan sehingga jelas bahwa Salihara telah gagal merawat kebebasan di dalam lingkungan lembaga itu sendiri," ujar bekas mahasiswa Sastra Belanda FIB UI angkatan 1996 itu.
Wisnu menambahkan, pihaknya juga mengecam keras tindakan sebagian anggota Salihara yang membodohi publik dengan mengkampanyekan bahwa tindakan tersebut adalah tanggung jawab individu yang terlepas dari institusi, dengan hanya berpijak pada pengakuan Sitok Srengenge tanpa mendengar kesaksian korban.
Seperti diketahui, Sitok Srengenge sudah mengundurkan diri dari Salihara pada Selasa 3 Desember lalu karena harus menghadapi tuduhan pencabulan terhadap RW, yang kini sudah diproses hukum. Pengunduran diri disampaikan penyair liberal itu sebelum diklarifikasi oleh Salihara.
"Kita tanyakan kasus ini, bagaimana? Ternyata dia datang sekalian untuk mengundurkan diri," kata Ayu Utami, salah satu kurator Salihara, saat dihubungi merdeka.com, Selasa (12/3).
Ayu menambahkan, setelah melakukan pemeriksaan internal organisasi, Komunitas Salihara menilai bahwa kasus yang diadukan itu tidak melibatkan pemanfaatan fasilitas dan jabatan di Komunitas Salihara. Mereka pun menyerahkan masalah ini pada kepolisian.
"Komunitas Salihara menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kami berharap melalui proses hukum ini tercapai jaminan perlindungan bagi korban dan rasa keadilan," kata Ayu.
Berikut pernyataan sikap lengkap Solidaritas Alumni FIB UI untuk RW (22), mahasiswi yang dihamili Sitok. Solidaritas ini dibentuk oleh 60-an orang, yang kini sedang menyusun langkah untuk terus membantu juniornya mencari keadilan.
1. Kami mengecam tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sitok Srengenge terhadap mahasiswi FIB UI, mengingat tindakan tersebut sangat melukai, merugikan, bahkan merusak masa depan korban. Sitok Srengenge sempat menghindari tanggung jawab dan mencoba membungkus kejahatannya sebagai tindakan yang berlandaskan perasaan suka sama suka. Sebagai seorang penyair, Sitok Srengenge seharusnya paham bahwa kekerasan seksual adalah tindakan yang berlawanan dengan kemanusiaan, tetapi ia justru memanfaatkan posisinya sebagai tokoh, penyair, dan kurator lembaga kebudayaan Salihara untuk menjerat korban. Sampai sekarang Sitok belum mengakui tindakan yang ia lakukan sebagai sebuah kesalahan.
2. Kami menyatakan dukungan moral dan material sepenuhnya kepada korban untuk menjalani proses hukum dan sosial, serta berharap korban akan mendapatkan keadilan. Kami mengagumi keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan ini dan menyadari bahwa perempuan sebagai korban kekerasan menghadapi banyak hambatan dari dalam diri dan lingkungan sekitar untuk sekadar mengungkapkan kekerasan yang telah terjadi.
3. Kami mendorong penyelesaian kasus ini melalui jalur hukum. Meski demikian kami tahu bahwa sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dalam menjamin perwujudan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, keadilan bagi korban mungkin perlu dicapai dengan cara-cara lain, misalnya sanksi sosial bagi Sitok Srengenge.
4. Kami menyerukan agar korban-korban kasus kekerasan seksual untuk berani mengungkapkan tindakan kekerasan yang menimpa diri mereka. Kekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan yang boleh dibilang sangat terselubung karena banyak korban tidak berani melapor, bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki di mana di dalamnya berlaku relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan laki-kaki. Bagi kami kekerasan seksual bukan semata-mata persoalan moral individu, melainkan sesuatu yang bersumber dari ketimpangan relasi tersebut.
5. Kami mengecam Salihara yang tidak tegas menindak Sitok Srengenge, atas penyalahgunaan nama institusi oleh dirinya sebagai kurator Salihara, untuk memperdayai korban. Salihara telah sangat menyepelekan masalah yang ditimbulkan oleh Sitok Srengenge, yang membawa nama Salihara dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan. Salihara, yang mengklaim diri hendak "Bersama Publik Merawat Kebebasan", nyata-nyata melakukan pembiaran atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukan seorang kuratornya. Tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap kebebasan sehingga jelas bahwa Salihara telah gagal merawat kebebasan di dalam lingkungan lembaga itu sendiri. Kami mengecam keras tindakan sebagian anggota Salihara yang membodohi publik dengan mengkampanyekan bahwa tindakan tersebut adalah tanggung jawab individu yang terlepas dari institusi, dengan hanya berpijak pada pengakuan Sitok Srengenge tanpa mendengar kesaksian korban.
6. Kami menghargai liputan media yang mengangkat kasus ini sehingga publik mengetahuinya. Namun kami mencatat ada pola pemberitaan beberapa media yang tidak peka terhadap kasus ini, juga tidak bersimpati terhadap kondisi korban. Bahkan beberapa media tersebut sempat menyebarkan identitas korban, tindakan yang membuahkan teror terhadap korban, keluarga, dan teman-teman terdekatnya. Kami menilai bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan seharusnya tidak menjadi komoditas industri media.
7. Kami menyerukan agar lingkungan akademik dan masyarakat luas menghentikan penghakiman terhadap korban. Kekerasan seksual merupakan pengalaman buruk yang sangat berat ditanggung oleh korban, masyarakat hendaknya menunjukkan solidaritas dan membantu korban menjalani proses pemulihan alih-alih menciptakan lingkaran kekerasan berikutnya secara psikis dan verbal.
8. Kami menyerukan kepada otoritas kampus FIB UI supaya memberikan dispensasi akademik kepada korban berupa cuti (di luar cuti terhitung) selama proses hukum berlangsung sampai ada keputusan in kracht sebagai salah satu bentuk dukungan kepada korban.
Depok, 5 Desember 2013
Solidaritas Alumni FIB UI
(solidaritas.alumni.fibui@gmail.com/0817850666)