Bulan April bersama asal-usul jalan
Kalau tak penting, tidak mungkin pula pemerintah kolonial Jepang menghapus nama-nama jalan berbau Belanda di Jakarta.
Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Tetapi ungkapan itu sepertinya tidak berlaku untuk nama jalan. Bagi banyak pihak, nama jalan bisa menjadi sangat penting. Kalau tak penting, tak mungkin misalnya rezim Orde Baru memberi ratusan jalan dengan nama-nama tokoh militer.
Kalau tak penting, tidak mungkin pula pemerintah kolonial Jepang menghapus nama-nama berbau Belanda di Jakarta, menjadi nama-nama khas Jepang. Misalnya saja, Jalan Van Heutz menjadi Jalan Imamura (kini Jalan Teuku Umar), atau Jalan Oude Tamarindelaan menjadi Jalan Nusantara (kini Jalan Wahid Hasyim).
Demi mengembalikan filosofi kota pula, di balik rencana pemerintah kota Yogyakarta mengubah 600 nama jalan. Sebagai permulaan, tiga nama jalan penting yang akan diganti, Jalan Mangkubumi akan berganti nama menjadi Jalan Margo Utamo, Jalan Ahmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo dan Jalan Trikora menjadi Jalan Pangurakan.
Kalau tak penting, mustinya tidak akan ada petisi menolak rencana pemerintah kota Padang mengabadikan nama Soeharto, mantan Presiden RI, untuk nama ruas jalan sepanjang 9 km di By Pass Padang. Rencana ini diajukan Pemko Padang ke DPRD sebagai Ranperda.
Atas rencana ini, kritik datang bertubi-tubi. Alasan pengkritik, Soeharto tak pantas menjadi nama jalan di Padang mengingat pemerintahannya selama 32 tahun yang kental kolusi, korupsi, dan nepotisme, dan otoriterianisme.
Begitu pentingnya, muncul pandangan seharusnya sebuah kota memiliki perencanaan yang matang soal penamaan jalan. Dikutip dari esai Kees Grijn di Jakarta-Batavia, pada 1953, kritik datang dari sastrawan Boejoeng Saleh tentang buruknya sistem penamaan jalan di Jakarta. Kalaupun ada sistem penamaan, hanyalah pemberian angka untuk jalan-jalan kecil yang menjadi cabang jalan besar.
Misalnya, Jalan Kramat 1-8 untuk cabang Jalan Kramat atau Lorong 1-104 di Tanjung Priok. Contoh terencana lain, penamaan jalan di kawasan Halim dengan nama-nama jenis pesawat, seperti misalnya Ilyusin, Hercules, Bomber, Dakota, dan Mustang.
Di luar itu, nama-nama jalan muncul tanpa rencana. Ketik Jalan Anggrek di Google Maps, maka akan muncul di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, belum termasuk Jl Anggrek Neli Murni di Jakarta Barat. Ketik Jalan Madrasah, maka akan ada di seluruh wilayah Jakarta kecuali Jakarta Utara. Apa yang terjadi di Jakarta, nyaris juga tampak di semua wilayah Indonesia.
Ya begitulah adanya. Meskipun, di balik ketidakteraturan sistem penamaan jalan, justru muncul banyak cerita menarik.
Satu tema seragam tentang penamaan jalan di Indonesia adalah banyaknya nama jalan dengan latar belakang tentara. Di luar itu, penamaan jalan terutama di Jakarta datang dari latar belakang sumber nama yang universal. Ada nama jalan yang berasal dari bentang alam (Jl Bukit Duri, Jl Utan Kayu, Jl Pulo Gadung), tumbuh-tumbuhan (Jl Roos, Jl Mawar, Jl Dahlia), hewan (Jl Cenderawasih, Jl Kepodang), lembaga pemerintahan (Jl Bina Marga, Jl Pengadilan), mantan menteri (Jl Ir H Juanda) dan banyak sumber lain.
Begitu beragamnya latar belakang nama jalan, merdeka.com berencana mengangkatnya sebagai tema bulanan untuk April. Ini juga yang kami lakukan pada bulan Juni untuk tema Soekarno dan bulan Maret untuk tema Soeharto. Selamat menikmati dan dapatkan berita lengkapnya dengan TAG asal usul jalan.