Cegah manusia gerobak, Jokowi harus gandeng pemerintah daerah
Gelombang pemulung dan peminta-minta adalah fenomena laten perkotaan.
Setiap jelang Lebaran, DKI Jakarta mengalami fenomena sosial membanjirnya 'manusia gerobak'. Mereka adalah tunawisma atau pemulung yang nomaden keliling kota, dan sehari-hari tidur di gerobaknya.
Selain memulung, tak sedikit dari mereka juga meminta-minta pada pengguna jalan. Sebagian lagi bekerja serabutan, sebab awalnya mereka adalah korban penggusuran.
Menghadapi situasi tersebut, Suku Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI menerjunkan Tim Reaksi Cepat (TRC). Pergerakan manusia gerobak dipantau, dan akan dibina jika mulai membahayakan diri sendiri atau pengguna jalan. Skema penanganan ini sama seperti penangan gelandangan lainnya.
Peneliti Lembaga Studi Urban Khoirul Anwar menilai, kebijakan TRC hanyalah obat sementara. Akar masalah kemunculan manusia gerobak, pengemis, dan lain sebagainya, ada pada minimnya sarana, pembangunan, serta kualitas SDM di daerah asal mereka.
"Muncul fenomena itu karena ekologi kota, intinya kegiatan kota jadi magnet. Persoalannya, ketimpangan kota dengan daerah asal mereka terlalu tinggi," ujarnya kepada merdeka.com saat dihubungi, Sabtu (27/7).
Gelombang pemulung dan peminta-minta adalah fenomena laten perkotaan. Namun, bukan berarti mereka menganggap kota adalah segalanya. Bahkan, sebetulnya, banyak dari manusia gerobak yang memanfaatkan Jakarta murni sebagai tempat mencari nafkah.
Sementara, mereka tetap mengidentifikasi identitas dan tempat tinggal di daerah asal mereka, yang bisa jadi di Jawa Tengah atau sisi utara Jawa Barat.
"Kebijakan paling penting, mencegah mereka keluar dari daerahnya dulu. Jika di daerah asalnya mereka maju dan sejahtera, iming-iming uang kota besar tidak akan menarik lagi kok," kata Khoirul.
Karena itu, pengembangan komunitas di daerah miskin yang warganya berpotensi hijrah ke Jakarta atau kota-kota besar lain perlu dilakukan. Kebijakan itu disesuaikan dengan karakter daerah asal, apakah mendorong pertanian atau ekonomi maritim.
"Jadi community development itu enggak usah aneh-aneh. Misal mereka awalnya petani apa, ya didukung. Jangan kebijakan pengembangan SDM malah mendorong mereka mengerjakan hal baru," paparnya.
Dan peningkatan kualitas hidup para migran di kampung halamannya ini merupakan kerja bersama lintas pihak, termasuk pemerintah pusat dan lembaga swadaya.
Sementara, di sisi Pemprov DKI, Gubernur Joko Widodo disarankan Khoirul secara sistematis mengelola area potensi kumuh. Untuk kasus Jakarta, dia menilai kebijakan populis, seperti mempermudah pembuatan KTP, jangan dikedepankan karena akan menambah beban metropolis.
Jakarta harus berbagi pendatang dengan kawasan hinterland seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang.
"Jakarta itu kasus ekstrem, kebijakannya juga harus ekstrem karena manusia gerobak atau apapun enggak musiman, selalu ada selama ekologi kotanya masih menarik pendatang. Minimal memang harus dicegah punya KTP," tandasnya.
Jumlah manusia gerobak jelang Lebaran bervariasi. Data Dinas Sosial DKI sepanjang 2009, menunjukkan secara kasar jumlah mereka mencapai 2.500-an. Konsentrasi utama orang-orang yang berumah di gerobak itu adalah Kawasan Tanah Abang, Senen, dan Kebayoran Lama.