GO-JEK, karya anak bangsa yang bikin pusing Kemenhub
Sempat dilarang, Kemenhub mengizinkan ojek aplikasi kembali beroperasi.
Sejak dirintis resmi oleh jebolan Harvard University, Nadiem Makarim pada Januari 2015, kehadiran ojek beraplikasi GO-JEK menjadi moda transportasi yang cukup diminati masyarakat sejabodetabek. GO-JEK dengan ciri khas jaket hijau dan helm berwarna yang senada, menjadi alternatif di tengah kemacetan ibu kota.
Pada Januari 2015, GO-JEK meluncurkan aplikasi mobile sebagai sistem pemesanannya pada Android dan iOS. Sebelumnya, yakni pada tahun 2011, GO-JEK hanya melayani antar barang dengan menggunakan telepon sebagai via penghubung antara pengguna jasa.
Seiring pengguna GO-JEK kian diminati masyarakat, penolakan pun datang dari berbagai kalangan terutama pengemudi ojek konvensional. GO-JEK dinilai merebut 'piring nasi' dan dilarang untuk menunggu penumpang di pangkalan. Pertentangan pun terjadi dan seringkali diwarnai percekcokan. Bahkan PT Organda sebagai organisasi yang mewadahi transportasi di Jakarta menolak keras keberadaan GO-JEK. Menurut Organda, GO-JEK tidak termasuk sarana transportasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan roda dua bukanlah angkutan umum.
Namun hal yang menyejukkan bagi pengemudi GO-JEK adalah tanggapan positif Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok). Ahok tidak melarang GO-JEK beroperasi di Jakarta. Bahkan mantan bupati Belitung Timur ini berencana menggandeng GO-JEK dengan transportasi ibu kota seperti TransJakarta.
GO-JEK pun kian melebarkan sayap. Ribuan orang berminat menjadi driver yang diseleksi ketat oleh manajemen PT GO-JEK di Gelora Bung Karno (GBK). Pengemudi ojek konvensional yang tadinya menolak ramai-ramai mendaftarkan diri sebagai driver. Bahkan hingga kini, driver GO-JEK datang dari pekerja kantoran. Penghasilan rata-rata 6-8 juta sebulan membuat mereka berminat untuk bergabung. Ada yang menjadikan GO-JEK sebagai pekerjaan tetap, ada pula yang menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan.
Antara driver dan PT GO-JEK pun pernah tak sepaham. Para driver resah dengan manajemen GO-JEK yang dianggap membuat kebijakan tak menguntungkan.
Sistem pembagian 80 persen untuk pengemudi dan 20 persen untuk manajemen sesuai kesepakatan awal tak lagi diterapkan. PT GO-JEK menurunkan tarif dari Rp 4.000 per kilometer menjadi Rp 3.000 per kilometer. Tanggapan keras pun muncul, driver GO-JEK mulai turun ke jalan. Mereka melakukan aksi sweeping untuk mogok kerja.
Melihat laju GO-JEK yang kian laku, para pengembang pun mulai bermunculan. Maka hadirlah Grab, Blue-Jek dan Lady-Jek. Di jalan raya, layanan berbasis online ini berjibaku merebut hati pengguna jasa dengan berbagi tawaran, entah dengan promo ataupun bea-sewa yang cukup murah.
Memasuki bulan Desember, keputusan mengejutkan datang dari Kementerian Perhubungan. Menhub Ignasius Jonan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 tentang larangan Gojek dan sejenisnya.
Dasar hukum yang digunakan oleh Kemenhub adalah Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan; Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum; Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang. Maka layanan transportasi yang menggunakan aplikasi internet seperti Uber Taksi, GO-JEK, Go-Box, Grab Taksi, Grab Car, Blu-Jek, Lady-Jek pun dilarang beroperasi.
Dalam ketegangan tertulisnya, Menhub Ignasius menyadari bahwa layanan transportasi yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Namun Ignasius berpandangan lain. Meski sudah menjadi bagian dari transportasi di Ibu kota, layanan berbasis online dinilai bisa menimbulkan pergesekan di masyarakat.
Mendengar itu, sang pendiri GO-JEK, Nadiem pun mendekati Presiden Jokowi. Di depan Jokowi, ia mencurahkan segalanya tentang keberadaan GO-JEK dan layanan lainnya. Tanggapan positif pun keluar dari mulut Presiden Jokowi. Ia berencana memanggil Menhub Ignasius untuk mencabut surat pemberitahuan yang telah dikeluarkan.
Satu bulan setelah peluncuran, aplikasi GO-JEK diunduh sebanyak 50.000 kali. Selain itu, pengemudinya pun sudah mencapai 2.000 orang dan tersebar di Jabodetabek. Jasa transportasi tersebut juga melebarkan sayap ke Bandung dan Bali. Tentu aplikasi tersebut sudah meningkat jauh saat ini.