ICW: Prabowo dan Jokowi, dua-duanya bermasalah
Iklan kampanye kedua pasang capres tersebut mendapat sorotan dari berbagai kalangan.
Penyelenggaraan pemilu, utamanya pemilu presiden (Pilpres) 2014, dinilai berbeda dari penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya. Tidak hanya dari jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang hanya dua dan mampu memecah hingga ke akar masyarakat, namun dari sisi kampanye lewat media juga menjadi sorotan berbagai pihak.
Pilpres 2014, sempat memecah kalangan media, baik cetak maupun elektronik, menjadi dua kubu. Perpecahan tersebut tidak hanya terlihat dari sisi berita, namun juga dari sisi iklan.
Program Manager SatuDunia, Anwari Natari memaparkan data yang diperoleh SatuDunia hasil pemantauan iklan di 62 media masa dengan rentang waktu pemantauan selama 7 minggu, mulai dari 22 Mei 2014 hingga 9 Juli 2014. Kota yang diamati yakni Jakarta, Banjarmasin, Surabaya, Makassar, Medan.
"77 media. Biaya iklan pasangan capres Rp 61,94 miliar Jokowi-JK, Rp 61,41 miliar pasangan Prabowo-Hatta. Tapi data ini adalah sampling dari beberapa kota," kata Anwari di Jakarta, Kamis (11/9).
Anwari mengatakan, dari sisi iklan, pihaknya mendapati banyak pelanggaran, tidak hanya dari bentuk iklan yang samar dengan advertorial tapi pelanggaran waktu penayangan iklan.
"Advertorial harusnya berbeda dengan iklan. Pelanggaran lain, sudah masa tenang tapi masih ada iklan-iklan. Rupanya di masa tenang ini iklannya bentuknya feature, kalau di cetak itu bentuknya advertorial. Tapi ini munculnya lebih tajam dibanding iklan karena kalau iklan ya udah lah ya itu iklan, tapi kalau acara feature maka masyarakat akan melihat itu sebagai kebenaran. Tangga 6-9 (Juli) itu makin massif kemunculannya," jelas Anwari.
Anggota Majelis Etik AJI Jakarta, Endy M. Bayuni, menjelaskan bahwa iklan di media-media massa yang makin marak merupakan bentuk pengalihan mekanisme kampanye. Endy mengatakan bahwa pada era sebelum reformasi, kampanye dilakukan dengan mengerahkan massa sebanyak mungkin. Tahun-tahun belakangan ini, seiring makin berkembangnya dunia media, kampanye mulai merambah ke iklan-iklan di berbagai tempat, termasuk media.
Meski iklan di media massa dinilai massif dan menyebabkan besarnya dana yang keluar, namun Endy menilai, iklan yang massif tidak menjadi faktor penentu kemenangan salah satu pasangan capres.
"Iklan politik, iklan kampanye itu penting tapi pengaruhnya kita harus lihat faktor-faktor lain. Efeknya tidak terlalu jelas. Faktor-faktor lain seperti kredibilitas calonnya, debat capres itu juga lebih mempengaruhi ketimbang iklan. Saya juga perpikir apa perlu ada pembatasan belanja iklan? Mungkin perlu," ucap Endy.
Endy menambahkan, dari sisi iklan, dirinya tidak melihat adanya permasalahan melihat biaya yang dikeluarkan oleh keduanya relatif seimbang. Namun, yang menjadi sorotan Endy adalah konten berita dari media-media selama kampanye pilpres.
"Kalau bicara keadilan informasi, dari segi belanja iklan kandidat itu cukup adil. Jadi sebenarnya dari sisi itu tidak ada masalah. Mungkin masalahnya dalam konten berita, seperti feature. Metrotv bagian dari alat kampanye Jokowi, Tvone dan MNC bagian dari kampanye Prabowo, itu jelas, itu blak-blakan. Saya juga bingung kok KPI diam saja. itu tragedi bagi kita sebagai jurnalis," papar Endy.
Koordinator Bidang Isi Siaran Komite Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Rahmat Arifin menjelaskan, KPI hanya bisa memberikan sanksi administrasi terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan media-media selama kampanye pileg dan pilpres berlangsung.
"Semua tv pernah kita tegur. Pilpres kita belajar dari pileg, kita panggil terutama yang melanggar pileg itu, ternyata pas pilpres pelanggaran itu terulang. MNC menjadi koalisi setengah hati, nayangin dikit banget. Akhirnya yang main 2 (media) ini, Metrotv dan Tvone," jelas Rahmat.
Rahmat mengatakan, KPI sudah melayangkan beberapa kali teguran kepada para media-media yang dinilai tidak netral selama penyelenggaraan kampanye. "Kita sempat mengeluarkan dua surat teguran. Satu soal netralitas dan keberimbangan. Dua terkait lembaga penyiaran dilarang dimanfaatkan oleh pemilik dan kelompoknya. Dua kali ditegur mereka masih ngeyel, kita akhirnya melayangkan surat ke Kominfo, yang intinya adalah kami meminta menteri untuk mengevaluasi ijin kedua tv itu intinya minta dicabut lah," ucap Rahmat.
Rahmat mengatakan, untuk mencegah "kenakalan" media terulang kembali, KPI perlu kewenangan lebih besar, salah satunya adalah kewenangan mengaji ulang izin penyiaran dari media-media elekronik. "Kami mengusulkan kewenangan KPI ditambah, karena izin frekuensi itu yang tandatangan harus menteri. Kita sepakat penguatan itu harus, tapi proses seleksi itu harus kuat, jangan sampai dimasuki kader-kader partai politik karena satu lembaga itu sedikit saja menjadi 'seksi', memiliki kewenangan lebih, maka akan diincar partai politik, seperti BPK," tutur Rahmat.
Koordinator Divisi Monitoring Dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas menilai, biaya iklan yang dipaparkan kedua pasangan capres dan cawapres di hadapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai belum transparan dan masih memunculkan kecurigaan adanya aksi pencucian uang melalui dana kampanye.
"Prabowo dan Jokowi, siapa yang paling transparan? Dua-duanya bermasalah. Jokowi kita akan menemukan angka-angka generik, Rp 1, atau sumbangan kelompok buruh, kesannya hanya memenuhi quota saja. Dua-duanya sama-sama tidak memenuhi sisi transparansi akuntansi publik," ujar Firdaus.
Ke depan, lanjut Firdaus, diperlukan kesamaan pemahaman terkait prosedur yang digunakan untuk mengaudit dana kampanye para calon presiden dan wakil presiden juga calon legislatif. "Yang perlu adalah kesepahaman prosedur yang akan digunakan," tutur Firdaus.