Jokowi mulai dibanding-bandingkan dengan SBY soal kisruh KPK-Polri
Saat itu banyak yang mengritik SBY lambat, kisruh KPK-Polri jilid I dan II akhirnya terselesaikan.
Kisruh antara KPK vs Polri terus berlangsung. Kisruh antara dua lembaga penegak hukum itu diawali dari penetapan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka transaksi mencurigakan dan rekening gendut oleh KPK.
Saat itu, Komjen Budi Gunawan baru saja ditetapkan Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri dan akan mengikuti uji kelayakan di DPR. Tak lama setelah itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap petugas Bareskrim Polri dan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan mengarahkan saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat di MK pada 2010.
Sementara, tiga pimpinan KPK lainnya, satu persatu dilaporkan sejumlah pihak ke Bareskrim Polri.
Sejumlah pihak lantas mendesak Presiden Jokowi turun tangan segera menuntaskan kisruh KPK-Polri. Salah satu langkah yang diambil Jokowi adalah membentuk Tim Independen alias Tim 9.
Namun, hingga hari ini kisruh antara KPK-Polri masih terus berlanjut. Kritikan pun ditujukan kepada Jokowi karena dinilai tak tegas dan lambang dalam menyelesaikan kisruh KPK-Polri.
Jokowi bahkan dibanding-bandingkan dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti diketahui, kisruh antara KPK-Polri tak kali ini saja terjadi.
Di era SBY berkuasa, KPK-Polri sempat bersitegang sebanyak dua kali. Kisruh pertama terjadi pada 2009. Kisruh saat itu bahkan dikenal dengan sebutan 'Cicak vs Buaya.'
Istilah itu dikenal setelah Komjen Pol Susno Duadji yang saat itu tengah bersitegang dengan KPK mengistilahkan komisi pemberangus korupsi itu dengan cicak. Sementara, Polri diistilahkan olehnya dengan buaya.
Sementara kisruh KPK vs Polri kedua terjadi pada 2012. Saat itu ketegangan terjadi karena KPK mengungkap kasus korupsi simulator SIM dan menjadikan Kakorlantas Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka.
Polri kemudian menjadikan penyidik KPK yang menyidik kasus itu, Kompol Novel Baswedan sebagai tersangka kasus penembakan saat masih bertugas di Bengkulu.
Dua kisruh KPK-Polri itu kemudian selesai setelah SBY turun tangan. Meski saat itu banyak yang mengritik SBY lambat, kisruh KPK-Polri jilid I dan II akhirnya terselesaikan.
Kini, sejumlah pihak mulai membanding-bandingkan Jokowi dengan SBY dalam menangani kisruh KPK vs Polri. Berikut ulasannya:
-
Apa yang diharapkan dari kolaborasi KPK dan Polri ini? Lebih lanjut, Sahroni tidak mau kerja sama ini tidak hanya sebatas formalitas belaka. Justru dirinya ingin segera ada tindakan konkret terkait pemberantasan korupsi “Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,” tambah Sahroni.
-
Siapa yang mengapresiasi kolaborasi KPK dan Polri? Terkait kegiatan ini, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni turut mengapresiasi upaya meningkatkan sinergitas KPK dan Polri.
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Bagaimana cara agar kolaborasi KPK dan Polri ini efektif? “Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,” tambah Sahroni.
-
Siapa yang melaporkan Dewan Pengawas KPK ke Mabes Polri? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara perihal Nurul Ghufron yang melaporkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Bareskrim Mabes Polri dengan dugaan pencemaran nama baik.
-
Kenapa Jokowi panggil Kapolri dan Jaksa Agung? Pemanggilan tersebut, buntut insiden personel Datasemen Khusus Antiteror (Densus 88) dikabarkan menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah.
Dulu SBY dibilang lambat sekarang-jokowi super lambat
Anggota Tim Independen Imam Prasodjo menilai, Presiden Jokowi harus segera membuat keputusan tentang kisruh antara KPK dengan Polri. Sebab jika tidak, dia yakin konflik yang terjadi malah akan semakin merugikan Jokowi sendiri.
"Kita tunggu saja, mudah-mudahan Pak Jokowi tidak kelamaan membiarkan situasi terombang ambing seperti ini. Karena yang dirugikan Pak Jokowi," kata Imam di Balai Kota, Jakarta, Kamis (5/2).
Imam menyatakan saat ini sudah muncul persepsi jika Jokowi sangat lamban menyelesaikan konflik tersebut. Padahal dulu, Presiden ke-6 SBY juga dinilai lamban dalam menyelesaikan perseteruan antara dua lembaga penegak hukum ini.
"Dulu katanya Pak SBY lamban, nah sekarang mulai muncul persepsi publik ini super lamban ini. Nah itu trust turun, blusukan tiap hari enggak ada gunanya kalau orang sudah mulai tidak percaya. Kalau yang nggak percaya lawan politiknya nggak aneh, tapi kalau yang nggak percaya dari pendukung dari fanatik harus hati-hati Pak Jokowi," tegas dia.
Dia berharap Jokowi segera menyelesaikan konflik yang semakin tegang ini. Karena masih banyak hal yang harus dilakukan baik KPK maupun Polri daripada berkutat dengan persoalan ini saja.
"Jadi sebagai anggota Tim sembilan yang nggak jelas ini saya sih cuma berharap krisis seperti ini segera berakhir dan kembali," pungkasnya.
Tim Independen kritik jokowi tak diberi mandat seperti era SBY
Anggota Tim Independen, Imam B. Prasodjo mengkritik Presiden Joko Widodo karena tidak memberi mandat menyelesaikan kisruh KPK dan Polri. Kondisi ini membuat tim yang diketahui Syafii Maarif itu tak memiliki tugas jelas.
Sosiolog Universitas Indonesia itu juga membandingkan dengan Tim 8 bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu kerja tim jelas menyelesaikan kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah oleh Polri.
"Makanya ada Tim Independen yang akhirnya juga tidak jelas karena beda dengan waktu Pak SBY jelas ada mandatnya," ujar Imam di Balai Kota DKI, Kamis (5/2).
"Jadi sebagai anggota Tim 9 yang enggak jelas ini saya cuma berharap krisis seperti ini segera berakhir dan kembali kerja karena banyak hal yang lebih besar dari sekedar kapolri," tambahnya.
KPK vs Polri jilid 3, Johan Budi bandingkan kepemimpinan jokowi dengan SBY
Satu persatu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi jilid tiga, yakni Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Bambang Widjojanto, dan Zulkarnain, dilaporkan ke Kepolisian dengan berbagai kasus. Bahkan kuat dugaan seluruhnya akan dijadikan tersangka.
Deputi Pencegahan KPK Johan Budi Sapto Prabowo mengatakan, menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, setiap pimpinan yang menjadi tersangka harus diberhentikan sementara. Bila hal itu terjadi maka lembaga penegak hukum itu akan lumpuh dan dampaknya akan dahsyat.
"Apa yang terjadi kalau KPK tidak bisa melakukan fungsi dan tugasnya? Ada ratusan kasus yang sekarang sedang ditangani KPK baik penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan termasuk yang sedang dalam proses persidangan. Ini harus dipahami publik," kata Johan dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/2).
Johan mengatakan, bila semua pimpinan menjadi tersangka maka seluruh proses hukum di KPK akan terhenti. Hal itu tidak bisa dihindari dan maka dari itu Presiden Joko Widodo diminta segera bertindak.
"Ada tenaga dan pikiran yang harusnya fokus melaksanakan tugas, baik itu pencegahan maupun penindakan jadi terganggu," ujar Johan.
Dengan kondisi seperti ini, Johan pun mengimbau kepada Presiden Joko Widodo supaya mengambil langkah-langkah konkret dan tegas buat mempertahankan KPK. Sebab menurut dia, bila KPK lumpuh maka dampaknya akan fatal. Yakni terhentinya proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi sedang ditangani.
"Saya tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukan Presiden, dia pasti punya cara sendiri," ujar Johan.
Johan mencontohkan, saat tiga pimpinan KPK jilid dua tersangkut masalah hukum. Yakni Antasari Azhar yang saat itu dituduh membunuh Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasarudin Zulkarnaen, dan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto serta Chandra Hamzah dituding menerima janji suap buat menghentikan perkara korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Kementerian Kehutanan.
Ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk tim delapan buat mengurai permasalahan dan memberikan solusi. Jalan keluarnya adalah SBY menunjuk tiga orang menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK.
"Apakah cara itu dilaksanakan atau tidak, semua terserah Presiden (Jokowi)," sambung Johan.