Mengapa Masih Banyak Masyarakat Tidak Percaya Penyebaran Covid-19?
Kecenderungan manusia itu mencari informasi berdasarkan apa yang mereka percayai.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, Kamis (3/9) mengungkapkan bahwa tingginya jumlah masyarakat di Jakarta yang masih tidak percaya bisa tertular virus Covid-19. Selain DKI Jakarta yang menduduki peringkat pertama, disusul oleh beberapa provinsi lain yang masyarakatnya punya pemikiran serupa antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Fenomena masyarakat yang tinggi tingkat ketidakpercayaan pada penularan Covid-19 diiringi dengan jumlah kasus di daerah tersebut yang terus berada di posisi puncak. Seperti DKI Jakarta dengan 43,400 kasus dan Jawa Timur 34,655 kasus hingga hari ini, Jumat (4/9).
-
Kapan peningkatan kasus Covid-19 terjadi di Jakarta? Adapun kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Apa yang terjadi pada kasus Covid-19 di Jakarta menjelang Nataru? Kasus Covid-19 meningkat di Ibu Kota menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
-
Bagaimana peningkatan kasus Covid-19 di Jakarta menjelang Nataru? Peningkatan kasus Covis-19 di DKI Jakarta aman dan sangat terkendali. Tidak ada kenaikan bermakna angka perawatan rumah sakit juga.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
"(Warga) masih menganggap Covid rekayasa, masih anggap Covid ini konspirasi. Kami akan upayakan tim gabungan bisa sasar daerah-daerah tersebut," jelas Doni dalam rapat.
Pernyataan Doni sejalan dengan penjelasan dari Psikolog Klinis dan Hipnoterapis, Alexandra G. Adeline.
"Kita lihat beritanya sama-sama kuat yang pro bahwa benar corona berbahaya dan yang kontra menyatakan corona hanya konspirasi," kata Alexandra, Jumat (4/9).
Dia menjelaskan kecenderungan manusia itu mencari informasi berdasarkan apa yang mereka percayai, apa yang membuat mereka merasa aman sehingga lebih tenang. Ada sebagian orang yang mengetahui situasi pandemi ini kemudian mencari rasa aman dan tenang dengan mencari informasi apa yang bisa dilakukan untuk menjaga diri sendiri.
Kebalikannya, sebagian yang lainnya memilih tidak percaya sehingga lebih memilih percaya ke dugaan konspirasi.
"Kita lihat banyak orang yang enggak pakai masker padahal lagi pandemi, mereka cenderung bilang konspirasi dengan berbagai alasan salah satunya belum melihat kejadian pasien mati yang terjadi di depan mata mereka," kata Alexandra.
Ditambah lagi banyak pemberitaan yang menyatakan jumlah orang tanpa gejala (OTG) lebih banyak ketimbang orang yang terpapar virus atau bahkan yang meninggal. Tidak sekadar itu saja, ketika awal pandemi sudah banyak teori konspirasi yang berkembang di masyarakat. Salah satunya konspirasi yang dari awal sudah ramai diperbincangkan adalah terkait kebocoran laboratorium biologi di China, konspirasi vaksin, permainan bisnis hingga pengembangan senjata biologis.
Terlebih ketika masyarakat semakin lama semakin kritis ditambah situasi berbulan-bulan pandemi ini terjadi dengan kondisi diri mereka atau orang sekitar tidak terinfeksi semakin membuat mereka memperdebatkan apakah virus ini nyata adanya.
Alexandra juga menjelaskan situasi ini dengan telaah teori Maslow yang menjelaskan terdapat lima kebutuhan fundamental manusia yang bentuknya segitiga dengan tingkatan. Tingkatan ini terdiri dari kebutuhan fisik, rasa aman, cinta, harga diri, dan puncaknya adalah aktualisasi.
Dari yang paling bawah, kebutuhan yang setiap hari dibutuhkan misalnya kebutuhan fisik, mencakup makan, tidur dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Menurutnya masih banyak masyarakat kurang mampu di luar sana dalam artian untuk makan saja masih sulit. Dalam teori ini menjelaskan jika manusia masih berada di tahap kebutuhan dibawahnya maka cenderung untuk tidak memikirkan kebutuhan yang ada diatasnya.
Khususnya ia menyoroti masyarakat yang terlihat tak acuh untuk membeli masker dan hand sanitizer, karena tidak menutup kemungkinan untuk makan saja mereka masih kesulitan sehingga mereka cenderung lebih percaya dengan realita di depan mereka ketimbang virus Covid-19 yang ada di berita saja.
Alex mencontohkan demo buruh pada tanggal 30 April yang pada akhirnya batal karena mendapat telah respon dari Presiden Jokowi. Artinya kalangan buruh memikirkan bagaimana survive untuk pemenuhan kebutuhan fisik yaitu makan dan pekerjaan mereka.
Hanya Percaya Apa yang Dilihatnya
Fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tidak sedikit negara di luar sana yang masyarakatnya lebih memercayai teori konspirasi yang beredar.
Tidak jauh berbeda disampaikan oleh pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 karena beberapa hal yaitu tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan karena ini merupakan suatu hal yang baru, terlebih hingga kini vaksin masih belum ditemukan. Kedua, tidak ada orang yang punya pengalaman sebelumnya.
"Ketiga, ada penglihatan, orang tidak melihat langsung, kalau demam berdarah setidaknya paling tidak orang terdekat pernah kena, tapi Covid-19 apa iya Anda pernah melihat sendiri?" ujar Devie dalam percakapan telepon dengan merdeka, Jumat(4/9).
Devie menjelaskan bahwa manusia itu sangat visual, "seeing is believing" sehingga hanya memercayai apa yang dilihatnya
Berbagai hoaks dan juga konspirasi masih banyak beredar luas di internet dan tidak jarang orang yang memercayainya. Sehingga penyebaran hoaks ini menjadi salah satu pemicu dari ketidakpercayaan masyarakat.
"Jadi 4P pengetahuan, pengalaman, penglihatan, penyebaran hoaks, tidak hanya masyarakat Indonesia saja, ini bahkan terjadi di negara maju. Seperti Amerika yang menolak memakai masker secara gila gila-an. Artinya jangan salahkan masyarakat kita," sambungnya,
Lantas apa yang bisa dilakukan?
Devie menjawab ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu pertama sosialisasi tiada henti. Dia percaya masyarakat perlu disosialisasi terus menerus. Kedua, demonstrasi simbolik ia mencontohkan seperti kejadian yang baru-baru ini viral terkait dengan pelanggar masker yang dimasukan ke dalam peti jenazah, menurutnya itu menjadi langkah yang baik untuk menyadarkan masyarakat bahwa virus Covid-19 itu nyata adanya.
Menggunakan tokoh publik juga bisa menjadi cara agar apa yang disampaikan pemerintah bisa sampai ke masyarakatnya. Peran tokoh publik memang dinilai penting sebagai pemberi contoh dan panutan. Dengan cara menggunakan tokoh publik di media sosial ataupun secara langsung seperti menggunakan peran RT dan tokoh masyarakat.
"Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang hierarkis, artinya akan mengikuti orang yang dianggap status sosial lebih tinggi," tukasnya.
"Di samping itu hal yang perlu dilakukan pertama adalah mengedukasi tokoh publik jangan sampai perilaku mereka tidak sesuai dengan protokol kesehatan karena berpotensi menjadi panutan bagi pengikut atau penggemarnya. Terakhir, isolasi jika memang nantinya jumlah kasus sudah tidak terbendung lagi," pungkas Devie.
Reporter Magang: Febby Curie Kurniawan