Kisah pilu eks Gerwani dibui karena 1965 kini tagih janji Jokowi
Di dalam penjara, dia mengalami penyiksaan yang mengakibatkan kerusakan fisik dan hingga kini pendengarannya terganggu.
Air mata Debura Sumini (70) sudah tidak tertahan lagi saat mantan anggota Gerwani ini menceritakan bagaimana dirinya mengalami penyiksaan pasca peristiwa 1965. Di dalam penjara, dirinya mengalami penyiksaan yang mengakibatkan kerusakan fisik, dan hingga saat ini pendengarannya menjadi terganggu.
Wanita asal Pati, Jawa Tengah ini mengaku, tidak tahu mengenai tuduhan yang diarahkan kepadanya. Oleh aparat, Sumini dituduh ikut menyiksa para jenderal yang menjadi korban peristiwa 1965.
"Kita dituduh sebagai Gerwani yang membunuh jenderal, menyilet jenderal, mencongkel mata jenderal. Padahal itu tidak ada, jenderal diangkat menurut visum dalam keadaan utuh. Tidak ada mata yang dicungkil, badan disilet," kata Sumini dalam Simposium Nasional bertajuk 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan', di Hotel Aryaduta, Senin (18/4).
Meski saat kejadian peristiwa 1965, dirinya berada di IPB, Bogor, Sumini mengaku tidak tahu kejadian kelam yang menewaskan tujuh jenderal angkatan darat tersebut. Dia juga baru tahu kejadian tersebut setelah mendengar berita di RRI, yang menurutnya, pemberitaan di radio milik pemerintah itu tidak benar.
Setelah menjalani masa tahanan selama 6,5 tahun dan tanpa menjalani persidangan, tidak lantas membuat kehidupan wanita kelahiran 1946 ini berjalan mudah. Sesudah lepas dari tahanan, hidupnya bersama suami dan tiga anaknya selalu menghadapi tindakan diskriminasi.
Salah satu diskriminasi yang dialaminya antara lain, kesulitan mencari nafkah. Selain itu, pendidikan anak-anaknya juga dipersulit.
"Waktu anak saya yang bungsu mau masuk Taruna Nusantara, dia ditolak karena saya dituduh terlibat peristiwa 1965," ujarnya.
Dengan adanya simposium ini, Sumini berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM ini. Untuk itu, lanjutnya, korban peristiwa 1965 akan menagih janji Presiden Jokowi.
"Pada peringatan HAM, beliau berbicara di Yogya dan pada tanggal 14 Agustus beliau mau menyelesaikan soal ini. Karena kita sudah dalam keadaan tidak menentu, kami penuh harapan dengan pemerintahan ini," ujarnya.
Selain itu, dia juga berharap pemerintah bisa meluruskan sejarah peristiwa 1965, yang menurutnya banyak hal yang ditutupi. Seluruh fakta harus dibuka, termasuk adanya pembunuhan massal di kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah.
"Rekonsiliasi tanpa pembenaran juga kurang cukup. Pembenaran harus diungkap. Sejarah tidak boleh digelapkan. Fakta harus dibuka. Pembunuhan juga ada. Di kampung kami, di Pati ada 4 lokasi pembunuhan massal. Itu ada bukti dan saksi," ujar Sumini.