Kisah Romantis Percintaan Para Pahlawan Indonesia Tak Terhalang Medan Perang
Para pahlawan nasional Indonesia ini pernah merasakan kisah cinta di tengah situasi yang mencekam. Berikut ceritanya
Kisah cinta nan romantis tak hanya dirasakan remaja masa kini, tetapi juga para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Kisah cinta mereka dengan pasangannya bahkan diuji dengan adanya perang perjuangan kemerdekaan yang berlangsung tak singkat.
Meski begitu, kisah cinta mereka semakin erat. Berikut perjalanan cinta nan romantis para pahlawan nasional Indonesia, cinta mereka tetap kuat meski terhalang medan perang:
-
Apa ciri-ciri kata-kata cinta yang romantis dan penuh makna? Cinta adalah perasaan yang mendalam dan kompleks yang bisa dirasakan oleh setiap orang. Kata cinta bisa disampaikan sebagai ungkapan dari perasaan tulus.
-
Kapan pantun lucu romantis biasanya dikirim? Selamat pagi selamat beraktivitasUntuk kamu yang cantik jelita Pantun Pagi Romantis Lucu
-
Kapan kata-kata cinta romantis ini bisa dibagikan? Kata-kata cinta romantis untuk pacar tentara dapat menguatkan hati meski jarak menjadi tantangan.
-
Siapa prajurit TNI AD yang menceritakan kisah cintanya? Seorang prajurit TNI AD Sersan Satu (Sertu) Gatot Watora membagikan kisah cintanya dengan sang istri.
-
Kapan sisi romantis dalam hubungan bisa memudar? Berpacaran selama bertahun-tahun kemungkinan membuat Anda mengalami kejenuhan hingga tak lagi memiliki sisi romantis.
-
Mengapa kisah cinta mereka menarik perhatian warganet? Kisahnya ini pun menjadi viral dan mencuri perhatian warganet.
Bung Tomo dan Sulistina Sutomo
Perjalanan cinta Sutomo dan Sulistina banyak ujian. Bung Tomo mengenal Sulistina saat masa pergolakan revolusi Indonesia. Keduanya memiliki dunia yang bersinggungan, yakni sama-sama sebagai aktivis yang bergerak untuk kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Setelah berkenalan, Sulistina memanggil Bung Tomo dengan panggilan "Mas Tomo". Walau Bung Tomo memiliki sikap tegas, Sulistina tetap menemukan sisi romantis dari pria tersebut.
Sisi romantis tersebut terlihat saat Bung Tomo berani menyatakan cinta pada Sulistina. Dengan berani Bung Tomo menyatakan ingin menjalin hubungan serius dan mengarah pada masa depan dengan Sulistina. Kedua insan itu menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih.
Walau sudah resmi sebagai pasangan kekasih sejak 1946, Bung Tomo dan Sulistina jarang bertemu. Hal ini karena keduanya memiliki kesibukannya masing-masing. Selain itu, keduanya juga dipisahkan oleh dua kota yang cukup berjarak jauh yakni Surabaya dan Malang.
Keadaan semakin sulit, karena Surabaya sedang dikuasai sekutu. Terjadi bentrokan antar pemuda pejuang RI dengan pasukan Sekutu. Bentrokan itu kemudian semakin membesar dan terkenal dengan nama Pertempuran Surabaya.
Untuk itu, Bung Tomo disibukkan dengan perjuangannya. Pada masa awal hubungan keduanya terjalin, Bung Tomo sedang menjadi sosok yang diburu sekutu. Hal ini dikarenakan sikap Bung Tomo yang suka memberontak dan menjadi pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Dengan demikian, mustahil bagi pasangan ini untuk bertemu dan menjalin cinta secara terang-terangan. Sulistina pun mengerti keadaan yang dialami Bung Tomo sebagai pejuang. Untuk itu, Sulistina tidak menuntut Bung Tomo untuk meluangkan waktu. Bung Tomo dan Sulistina menjalin hubungan atas dasar saling percaya satu sama lain.
Setelah dirasa sudah menjalin hubungan cukup lama sebagai pasangan kekasih, akhirnya Bung Tomo memutuskan untuk membawa jalinan ini ke jenjang pernikahan. Pernikahan Bung Tomo dan Sulistina berlangsung pada 19 Juni 1947 di Malang.
Jenderal Soedirman dan Siti Alfiah
Panglima Besar Jenderal Soedirman jatuh hati pada gadis asal tepi pantai Selatan, Cilacap, bernama Siti Alfiah. Ia adalah primadona di kota kecil di Jawa Tengah itu. Keduanya bertemu di Perkumpulan Wiworotomo. Ini adalah organisasi intrasekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara dengan sekolah menengah pertama Parama Wiworotomo, Cilacap.
Berbagai cara Soedirman mendekati Alfiah. Soedirman memilih kembang desa itu sebagai bendahara saat menjadi panitia teater agar keduanya bisa lebih dekat. Saat itu Soedirman menjadi ketua panitia. Soedirman juga kerap berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah.
Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Sementara orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah. Dari kebiasaan itulah, teman-temannya mulai menyadari jika Soedirman menaksir Alfiah. Sejak itu, tak ada laki-laki yang berani mendekati Alfiah.
Kemudian pada tahun 1936, Jenderal Soedirman resmi menikahi Siti Alfiah. Dari pernikahannya, keduanya dikaruniai tujuh orang anak.
Dalam buku berjudul 'Soedirman & Alfiah: Kisah-Kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman' karya E. Rokajat Asura tahun 2017, tergambar bagaimana rasa sayangnya Jenderal Soedirman terhadap istri dan anak-anaknya. Suatu hari saat situasi negara sedang genting, Soedirman menyempatkan diri memberikan alat kecantikan dan pakaian baru untuk sang istri.
"Apa yang bapak bawa?" tanya Alfiah waktu itu. "Baju dan bedak, Bu. Soalnya kalau ada serangan udara, semua toko bakal tutup," ujar Sudirman seraya membuka bungkusan.
Diserahkannya baju dan berkotak-kotak bedak itu. Alfiah tercengang dibuatnya. Kaget campur senang. "Buat apa bedak sebanyak itu?" "Biar bagaimanapun, Ibu harus tetap terlihat cantik," terang Sudirman. "Tapi satu dus saja bisa untuk sebulan lebih, Pak," ujar Alfiah, seraya menyeka sudut matanya.
"Kau senang, Bu?" tanyanya. Alfiah tak menjawab, hanya mengangguk. Tangannya sibuk menyeka air mata.
Soeharto dan Raden Ayu Siti Hartinah
Kisah cinta Soeharto dan Raden Ayu Siti Hartinah atau biasa disapa ibu Tien terbilang romantis. Keduanya bertemu saat bersekolah di Wonogiri. Kala itu, Soeharto menjadi kakak tingkat Tien, sedangkan Tien masih satu kelas dengan adik sepupu Soeharto, Sulardi.
Kisah cinta keduanya berawal dari sebuah perjodohan. Kala itu, Pak Harto berusia 26 tahun dan sedang bertugas di Jakarta, yang saat itu sedang riuh dengan peristiwa perjanjian Renville.
Pak Harto kemudian didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya. Awalnya, pembicaraan di antara mereka merupakan pembicaraan layaknya orang tua dan anak. Tetapi, tiba-tiba Ibu Prawiro bertanya kepada Pak Harto tentang rencana pernikahan.
Pak Harto yang saat itu berpangkat Letkol tidak begitu serius menanggapi pertanyaan bibi sekaligus ibu angkatnya. Tetapi, Ibu Prawiro terus mendesak dan mengingatkan Pak Harto pentingnya sebuah pernikahan yang tidak boleh terhalangi oleh apapun termasuk perang.
"Kamu masih ingat dengan Siti Hartinah, teman satu kelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?" tanya Ibu Prawiro.
"Apa dia akan mau? Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran," ungkap Pak Harto dengan perasaan minder.
Namun, Ibu Prawiro mencoba membesarkan hati Pak Harto. Dia kemudian berjanji akan mengurus semuanya, dengan jaminan kedekatannya dengan keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah dari Ibu Tien.
Tanpa disangka, ternyata keluarga KPH Soemarjomo mau menerima tawaran Ibu Prawiro. Akhirnya, kedua keluarga itu sepakat untuk menggelar upacara 'nontoni', mempertemukan antara calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita.
"Ini rupanya benar-benar jodoh saya," kata Pak Harto.
Pernikahan pun dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, dalam suasana penuh kesederhanaan, karena perang tengah berkecamuk kala itu. Bahkan, penerangan di malam hari terpaksa harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan adanya serangan dari Belanda.
Tiga hari usai pernikahan, Pak Harto langsung memboyong Ibu Tien ke kota tempatnya bertugas, Yogya.
Ki Hadjar Dewantara dan Raden Ajeng Sutartinah
Suwardi Suryaningrat atau biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara sempat mengalami ujian hubungan percintaan selama menjalin hubungan dengan Raden Ajeng Sutartinah. Kala itu, keduanya telah bertunangan.
Hubungan keduanya diuji saat kolonial Belanda mengancam menangkap Suwardi karena menulis artikel yang berjudul "Als Ik Een Nederlander was" (Andaikan Aku Seorang Belanda) di sebuah majalah resmi bernama Komite Boemi Poetra. Dalam majalah itu, Suwardi menjabat sebagai sekretaris.
Kabar ini cepat beredar. Sumardinah Martadirja melalui surat menanyakan soal itu kepada adiknya, Sutartinah, yang juga tunangan Suwardi: "Bahwa di Yogyakarta sudah tersiar kabar bahwa kangmas Suwardi hendak mencetuskan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda, tolonglah jawab, apakah berita itu benar?".
"Kanda Sumardinah Martadirja, Yogyakarta. Kalau berita itu benar, aku yang lebih dulu tahu, dan jika pun benar, aku sudah siap menghadapi risiko apa pun dengan penuh kebanggaan sebagai keturunan brandal Diponegoro," jawab Sutartinah dalam surat balasan, seperti dikutip Bambang Sokawati Dewantara dalam biografi Nyi Hajar Dewantara.
Seperti diketahui, Raden Ajeng Sutartinah lahir pada 14 September 1890. Ia adalah cucu Sri Paku Alam III sekaligus keturunan kelima Pangeran Diponegoro.
Mengetahui kabar itu, Sutartinah langsung menuju Bandung. Namun terlambat, karena Suwardi dan Tjipto sudah ditahan pihak Belanda. Apalagi situasi Bandung saat itu semakin mencekam.
Namun atas izin kepala militer setempat, Sutartinah berhasil bertemu Suwardi meski hanya lima menit, di dalam ruangan khusus. Dalam pertemuan itu, mereka bertukar sapu tangan tanpa sepengetahuan penjaga. Termasuk saling bertukar pesan. Suwardi menjelaskan pada Sutartinah agar menyelipkan pesan dari luar tahanan melalui serdadu asal Ambon, Sersan Soulisa. Sedangkan Sutartinah berjanji akan kembali ke Yogyakarta untuk mencari dukungan dan bantuan.
Kemudian pada 18 Agustus 1913, hakim memutuskan Tiga Serangkai, termasuk Suwardi, untuk dibuang ke Bangka, Banda Neira dan Timor, Kupang. Rencana itu ditolak oleh Tiga Serangkai. Mereka hanya meminta pengasingan keluar tanah air, dengan negara tujuan negeri Belanda.
Usulan itu dikabulkan. Namun sebelum berangkat, pada akhir Agustus 1913, Suwardi dan Sutartinah menikah secara sederhana di Puri Suryaningratan, Yogyakarta. Kemudian, mereka melangsungkan bulan madu di tanah pengasingan. Perjalanan mereka ke Belanda akhirnya dimulai. Pada 13 September 1913, Tiga Serangkai dan Sutartinah dibawa ke Belanda menggunakan Kapal Bullow.
(mdk/dan)