Marak pembubaran, aktivis minta Jokowi jamin kebebasan berkumpul
Mereka mengeluhkan cap komunisme yang dipakai aparat saat membubarkan acara.
Kelompok Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi menentang pembubaran pameran diduga berisi ajaran paham komunis di Grobogan, dan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta di Yogyakarta. Koordinator LBH Pers Asep Komaruddin menyatakan bahwa kegiatan tersebut hak berkumpul dan berpendapat yang tertuang dalam pasal 28.
"Tindakan penangkapan dan penggeledahan serta pelarangan karya ilmiah dan pemutaran film dengan embel-embel LGBT dan Komunis bentuk ancaman demokrasi," kata Asep saat jumpa pers di Kantor LBH, Jakarta, Kamis (12/5).
Menurutnya, penindakan melawan hukum itu berdasarkan kesewenang-wenangan atas landasan hukum Tap MPRS No XXV Tahun 1966 tentang Larangan Paham Komunisme di Indonesia.
"Cap ini distigmakan kepada aktivis gerakan rakyat dan kelompok minoritas yang sebenarnya bekerja untuk demokrasi, bukan dan tidak ada kaitan dengan penyebaran paham komunisme," kata dia.
Sementara di tempat yang sama, Direktur LBH Jakarta Alghifari Aqsa menyatakan Presiden Joko Widodo harus bertanggung jawab untuk menjaga demokrasi sesuai konstitusi yakni menjunjung hak asasi manusia dan menjamin warga negara untuk berpendapat, berserikat dan berkumpul. Jika tidak dilakukan, maka pemerintah mengingkari nawa cita dan meruntuhkan demokrasi.
"Kami menuntut ditegakkannya supremasi kepemimpinan sipil atas militer dan kepolisian sesuai konstitusi dengan mandat reformasi sektor keamanan agar gerak militerisme yang menghambat ruang-ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi dihancurkan," kata dia.
Pihaknya meminta TNI, Polisi dan Ormas tidak melarang pameran atau peredaran buku tanpa melalu proses pengadilan. Pihaknya juga berharap aparat keamanan tidak melakukan sweeping terhadap kegiatan yang dianggap menyebarkan paham komunis.
"Kami menyerukan masyarakat jangan diam dan berani mengambil sikap melindungi demokrasi yang susah payah dibangun sejak reformasi 1998. Kami akan menyiapkan diri melakukan aksi nasional melawan militerisme dalam waktu dekat," jelasnya.
Di kesempatan yang sama, Koordinator Safenet, Damar Juniarto menyatakan ada 41 peristiwa pelanggaran hak berkumpul dan berpendapat dilarang sejak Januari 2015 sampai Mei 2016. Jenis kegiatan yang dilanggar pemutaran film, diskusi, penerbitan buku, kunjungan ke makam, dan pertunjukan seni.
Sementara kota yang paling rawan pelanggaran yaitu Jakarta, Jogja, Solo, Bandung, Surabaya, Blitar, Bukittinggi, dan Mamuju.
"Kejadian berawal dari teror, pengerahan massa, SMS dan ancaman verbal. Kemudian mengarah pembubaran, interogasi dan penangkapan," tandasnya.