Menjelang vonis, Emir Moeis masih terbaring sakit
Erik tak bisa memastikan apakah kliennya bakal absen lagi dalam sidang besok.
Besok, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, sedianya bakal membacakan putusan terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Izedrik Emir Moeis. Dia adalah terdakwa dalam kasus dugaan suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Tarahan, Lampung, pada 2004.
Meski begitu, menurut salah satu tim penasehat hukum Emir, Erik S. Paat, mengatakan kliennya sampai saat ini masih terbaring di Rumah Sakit Harapan Kita lantaran sakit jantung. Dia menambahkan, mantan Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat itu masih dalam pantauan dokter dan dirawat intensif.
"Pak Emir masih di rumah sakit. Kondisinya masih diobservasi terus sama dokter dan belum diizinkan pulang. Kita masih cek terus," kata Erik kepada merdeka.com ketika dihubungi melalui telepon seluler, Minggu (6/4).
Namun, Erik juga tidak bisa memastikan apakah Emir tidak bakal menghadiri sidang esok hari. Sebab, sampai sekarang dia juga masih menunggu kabar dari dokter ihwal perkembangan kesehatan kliennya itu.
"Saya enggak berani mengatakan sidang besok batal, karena kita masih menunggu kabar. Siapa tahu besok diizinkan dokter dan bisa sidang, kan siapa yang tahu. Intinya kita masih menunggu perkembangan," ujar Erik.
Mestinya vonis terhadap Emir dibacakan Kamis lalu. Tetapi batal lantaran dia dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kita lantaran penyakit jantungnya mendadak kambuh.
Karena kondisi yang tidak memungkinkan buat membacakan putusan, akhirnya Ketua Majelis Hakim Matheus Samiaji menetapkan menunda sidang Emir hingga Senin pekan depan. Dia juga memutuskan membantarkan Emir hingga kondisi kesehatannya pulih. Tetapi, dia tidak bisa lagi memperpanjang masa sidang lantaran masa penahanan Emir sudah hampir habis.
Awal Maret lalu, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Emir dengan pidana penjara selama empat tahun enam bulan. Dia ditengarai terbukti menerima suap dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap 1.000 megawatt di Tarahan, Lampung, pada 2004.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu dianggap terbukti menerima suap USD 390 ribu dari Alstom Power Incorporated (Amerika Serikat) melalui Presiden Direktur Pacific Resources Inc., Pirooz Muhammad Sharafih. Uang itu buat memenangkan konsorsium Alstom Inc., Marubeni Corporation (Jepang), dan PT Alstom Energy System (Indonesia) dalam pembangunan enam bagian PLTU Tarahan.
Jaksa juga menuntut Emir dengan pidana denda sebesar Rp 200 juta. Jika tidak dibayar, maka Emir harus menjalani pidana kurungan selama lima bulan.
Pertimbangan memberatkan Emir adalah terdakwa tidak mendukung pemberantasan korupsi, menikmati hasil perbuatan, dan tidak mengakui perbuatan. Sementara hal meringankan mantan Ketua Komisi XI itu adalah belum pernah dihukum, sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan keluarga.
Menurut Jaksa Hendra Apriarsa, Emir terbukti melanggar delik dakwaan kedua. Yakni Pasal 11 dan Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.