Mitos kerbau, dianggap keramat di 4 daerah ini
Berikut ini cerita masyarakat di beberapa daerah yang menganggap kerbau memiliki keramat:
Kerbau memang lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai di Pulau Jawa, Sumatera hingga Kalimantan, terbukti ada jejak-jejak keterikatan masyarakat dengan kerbau. Bukan semata sebagai hewan peliharaan, tapi juga sebagai penanda status sosial.
Di Toraja, selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta transaksi.
Kondisi semacam ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, misalnya ketika hendak mengadakan pesta atau dalam praktik keagamaan. Selain di Toraja, di beberapa daerah lain kerabu juga lekat dengan mitos.
Berikut ini cerita masyarakat di beberapa daerah yang menganggap kerbau memiliki keramat yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber:
-
Apa yang dimaksud dengan mitos? Mite atau mitos adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani muthos yang secara harfiah bermakna sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan orang. Dalam arti yang lebih luas bisa bermakna sebagai suatu pernyataan, di samping itu mitos juga dipadankan dengan kata mythology dalam bahasa Inggis yang memiliki arti sebagai suatu studi atas mitos atau isi mitos.
-
Apa itu mitos? Mitos adalah kepercayaan yang diceritakan secara turun temurun. Mitos, sebagai warisan kultural yang telah melintasi generasi dan peradaban, tetap menjadi elemen tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Fenomena ini telah menciptakan narasi-narasi yang kaya akan simbolisme, makna, dan pandangan dunia.
-
Apa arti dari mitos? Mite atau mitos adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani muthos yang secara harfiah bermakna sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan orang.
-
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan mitos? Mitos merupakan cerita atau keyakinan yang menjadi bagian dari budaya masyarakat dan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi.
-
Kapan mitos biasanya muncul? Mitos biasanya disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan sering tidak memiliki bukti fisik yang bisa diverifikasi.
Minangkabau
Di Minangkabau, Sumatera Barat, kerbau mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Bahkan nama Minangkabau, diambil dari kata minang yang berarti kemenangan dan kabau yang berarti kerbau 'kemenangan kerbau'.
Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya Minangkabau. Konon, sejarah nama Minangkabau berawal dari kisah peperangan rakyat Sumatera Barat melawan kerajaan besar dari Jawa. Berkat bantuan kerbau-lah masyarakat di Sumbar menang perang. Akhirnya sampai sekarang mereka menamakan diri sebagai suku Minangkabau.
Saking lekatnya sejarah itu dengan masyarakat setempat, suku Minangkabau sampai membawa simbol-simbol kerbau pada adat budaya setempat. Misalnya atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau.
Begitu pula pada pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau), di mana ada hiasan mirip tanduk kerbau. Selain itu, badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia, misalnya berladang dan menggiling tebu.
Kerbau bagi masyarakat Toraja
Bagi etnis Toraja di Pulau Sulawesi, Indonesia, kerbau juga dianggap binatang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja (Nooy-Palm, 2003).
Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya.
Kondisi semacam ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, misalnya ketika hendak mengadakan pesta atau dalam praktik keagamaan.
Kerbau juga sering dipakai sebagai alat transaksi dalam usaha pertanian atau ritual budaya masyarakat setempat. Misalnya dalam pesta rambu tuka’ maupun rambu solo’. Laga adu kerbau pada pesta-pesta kematian menjadi ritual pembuka, dan menjadi daya tarik bagi masyarakat setempat.
Sedemikian pentingnya, di Toraja kerbau mendapat perlakuan istimewa, bahkan sampai mendapat sebutan dan gelar beragam.
Kerbau Dungkul di Banten
Mitos kerbau bukan cuma milik masyarakat Minangkabau atau Toraja. Di daerah Banten pun, masih ada kerbau dianggap keramat, yakni kebo dungkul. Konon, kerbau bule yang sepasang tanduknya menggantung itu dianggap memiliki tuah.
Apalagi kebo dungkul kalung, yang tanduknya sampai melingkar dan kedua ujungnya bertemu simetris di bagian bawah leher, selain kerbaunya sendiri dianggap keramat, air seninya pun bisa dijadikan semacam obat bagi penyakit tertentu.
Di Banten, kerbau juga bisa dijadikan sebagai lambang status sosial masyarakat, misalnya dijadikan sebagai mas kawin.
Kerbau Kiai Slamet di Keraton Solo
Anda tentu tidak asing dengan kisah Kerbau Kiai Slamet milik Keraton Surakarta ini. Setiap malam 1 Suro atau setiap malam tahun baru hijriyah (penanggalan Islam) pada 1 Muharram, kerbau ini diarak keliling benteng keraton (kirab pusaka).
Kebo bule Kiai Slamet merupakan hewan kesayangan Paku Buwana (sawargi) yang dianggap keramat. Saat kirab, biasanya di belakang Kiai Slamet adalah barisan abdi dalem keraton yang membawa benda pusaka keraton. Kemudian di belakangnya lagi diikuti masyarakat setempat.
Menurut mitos masyarakat setempat, kerbau albino (bule) Kiai Slamet itu bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan? Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Kerbau itu merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kiai Slamet.
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.