Panglima TNI sebut operasi darat bebaskan sandera harus dibuat SOP
Menurut Gatot, tanpa SOP pihak TNI tak akan bisa masuk ke Filipina untuk membebaskan sandera.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebutkan operasi darat pembebasan warga negara Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina harus ada standar operasional prosedur (SOP). Tanpa SOP, pihak TNI tak akan bisa masuk ke Filipina untuk membebaskan sandera.
"Apa yang disampaikan di Bali adalah hal positif, tetapi untuk operasional harus ditindaklanjuti pembuatan SOP antara Panglima TNI dengan Panglima angkatan bersenjata Filipina dan Malaysia," kata Jenderal Gatot Nurmantyo di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (4/8).
Menurutnya, perjanjian trilateral tiga Kementerian Pertananan Indonesia, Filipina dan Malaysia di Bali harus diratifikasi dalam legislatif tiga negara tersebut. Jika tak diratifikasi perjanjian trilateral, TNI belum bisa masuk ke Filipina dan Malaysia.
"Kalau sudah ada SOP maka apa yang kita lakukan berdasarkan SOP itu akan dilakukan, karena memang undang-undang di Filipina tidak membolehkan ke sana," jelas Gatot.
Dia melanjutkan, kondisi sandera saat ini dalam kondisi selamat dan sehat. Namun para sandera terpisah di berbagai tempat di Kepulaun Sulu, Filipina.
Gatot menjelaskan, saat ini kelompok Abu Sayyaf sudah terkepung dengan angkatan bersenjata Filipina dan kelompok pejuang muslim Moro Islamic Liberation Front (MILF). Pasalnya, pemerintah enggan memberikan uang tebusan sandera kepada kelompok Abu Sayyaf.
"Saya ucapkan terima kasih kepada pemerintah Filipina karena pemerintah Filipina bersama MILF mendesak dan mengepung tempat penyanderaan untuk bisa dibebaskan. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan sandera tanpa pembayaran. Karena dengan pembayaran harga diri kuta dijual. Mohon orang-orang yang suka berpetualang menjual bangsa ini itu, jangan ada lagi gitu loh," tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah mengusulkan operasi darat untuk membebaskan sandera, selain operasi di perairan laut. Sebab, perjanjian Trilateral antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia sudah dibentuk untuk mempermudah kerjasama menjaga keamanan maritim.
"Saya memberikan masukan, bicara soal kerjasama operasi darat. Mereka kan merampok di laut dibawa ke darat. Kalau diselesaikan di laut, kalau di darat, tak ada kerjasama bagaimana. Kan beritanya Indonesia mau menyerang ke Filipina, itu sangat akan ditentukan oleh perjanjian itu," kata Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (2/8).