Pembantaian sadis kompeni, kisah lahirnya Tari Gandrung
Perang ini disebut Perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dan hanya menyisakan sekitar lima ribu prajurit.
Tari Gandrung Sewu, tarian khas Kabupaten, Banyuwangi, Jawa Timur, dimainkan oleh ribuan para penari baik laki maupun perempuan. Sejak Abdullah Azwar Anas memimpin kabupaten berjuluk The Sunrise of Java itu, tarian rakyat tersebut kerap menghiasi rangkaian acara HUT Kabupaten Banyuwangi.
Festival Tari Gandrung Sewu yang digelar Sabtu sore (29/11) ini di Pantai Boom, Banyuwangi, adalah yang kali ketiga, terhitung sejak Tahun 2012 hingga 2014 ini.
Menurut cerita masyarakat Banyuwangi, kata Gandrung bermakna terpesonanya masyarakat agraris di Bumi Belambangan, sebutan lain Banyuwangi, kala itu kepada Dewi Sri, Sang Dewi Kesuburan atau Dewi Padi, yang kerap membawa kesejahteraan.
Kemudian, Tari Gandrung dimainkan sebagai wujud rasa syukur sehabis panen raya di Tanah Osing. Seni Tari Gandrung disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya antara Jawa dan Bali.
Saking populernya seni tari yang didominasi orkestra khas daerah paling timur Pulau Jawa ini, Banyuwangi diidentikkan dengan Gandrung. Banyuwangi juga dijuluki Kota Gandrung, selain julukan-julukan lainnya, seperi Bumi Belambangan, Tanah Osing, dan The Sunrise of Java.
Ditengok dari sisi sejarah, seperti yang dikisahkan masyarakat sekitar, salah satunya Warto. Lelaki berusia 62 tahun ini mengatakan kesenian Gandrung muncul bersamaan dengan di abadnya Alas (hutan) Tirtagondo atau Tirta Arum, untuk membangun Ibu Kota Belambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang).
Dari catatan sejarah, ide pembangunan ibu kota yang baru itu berasal dari Temenggung Wiroguno I atau Mas Alit yang kemudian dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang.
"Aslinya (awal mula), tari Gandrung dimainkan kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana. Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Belambangan sebelah timur, waktu itu," kata Warto dengan logat Jawa-nya, di sekitar Pantai Boom, tempat digelarnya Festival Tari Gandrung Sewu, Sabtu (29/11).
Dikisahkan, konon, sekitar tahun 1767, ketika pasukan kompeni yang dibackup prajurit Mataran dan Madura, menyerang dan meluluhlantahkan Belambangan yang dipimpin Mangwi.
Perang ini disebut Perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dan hanya menyisahkan sekitar lima ribu prajurit Belambangan dan beberapa penduduk. Para wanita ditawan, sebagai jarahan perang.
Dengan berakhirnya Perang Bayu pada 11 Oktober 1772, para prajurit dan penduduknya pergi mengungsi dan tercerai-berai di hutan, gunung dan daerah-daerah lain.
Selanjutnya, para prajurit yang cerai-berai itu, berusaha mengumpulkan seluruh kawan-kawan seperjuangannya, dan menahbiskan diri sebagai Gandrung Marsan atau penari laki-laki.
Mereka menggelar pertunjukan dari kampung ke kampung. Usai pertunjukan, mereka imbalan berupa beras atau hasil bumi lainnya, yang kemudina dibagi-bagikan kepada pengungsi yang memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaannya pasca-Perang Bayu.
Lahirnya kesenian yang dijadikan sebagai alat perjuangan menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan dan membangun kembali Bumi Belambangan sebelah timur yang telah porak-poranda oleh Kompeni itu.
Kemunculan Gandrung Marsan mulai populer atau mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan bupati kelima Banyuwangi, yaitu Bupati Pringgokusumo di Tahun 1867.
Kemudian, pada perkembangannya, Tari Gandrung tidak hanya dimaikan kaum lelaki, tapi juga wanita. Gandrung wanita pertama adalah Semi, seorang anak kecil yang pada waktu itu, sekitar Tahun 1895, masih berusia sepuluh tahun.
Menurut cerita yang dipercaya masyarakat sekitar, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi, yang bernama Mak Midhah bernazar:
"Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing (Kalau kamu sembuh, aku jadikan Seblang, kalau tidak ya tidak jadi)."
Akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru sejarah Gandrung, yang kali pertama dimainkan kaum hawa. Tarian Seblang ala Semi ini, kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat.
Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan Gandrung mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Dan di masa kepemimpinan Abdullah Azwar Anas, tarian ini dijadikan salah satu destinasi budaya di Banyuwangi, yang mampu menyedot minat wisatawan mancanegara.
Dan secara berturut-turut selama tiga tahun terakhir ini, Festuval Tari Gandrung Sewu turut menghiasi rangkaian HUT Kota Banyuwangi, yang jatuh pada 18 Desember.
"Dengan memperpanjang siklus destinasi, otomatis lama kunjungan wisatawan bertambah. Setelah menikmati event, misalnya, bisa ke Kawah Ijen, Pulau Tabuhan, belanja kuliner, dan sebagainya. Belanja wisatawan-pun lebih besar. Pariwisata event juga memberi banyak opsi ke wisatawan untuk memilih jadwal agenda kunjungan ke Banyuwangi," tandas dia.
Tari Gandrung sendiri, terbagi tiga bagian, yaitu Jejer, Maju atau Ngibing dan Seblang Subuh atau permohonan ampun kepada Tuhan.