Pengusaha Teriak, Pajak 40% Ancam Geliat Bisnis Spa di Bali
Pengusaha menilai kenaikan itu tergesa-gesa. Padahal Bali saja bangkit usai pandemi.
Semula pajak yang dibebankan hanya 15 persen.
- Pengusaha Spa Terapis Gugat Pajak Hiburan 75 Persen, Mendagri Tito: MK Nanti akan Hadapi
- Pengusaha: Pajak Usaha SPA di Bali Idealnya 15 Persen, Bukan 40 Persen
- Temui Pj Gubernur Bali, Pengusaha Spa Sampaikan Keberatan Pajak 40 Persen
- Anggap Aturan Pajak 40% Matikan Usaha, PHRI Bali dan Asosiasi SPA Ancam Gugat ke MK
Pengusaha Teriak, Pajak 40% Ancam Geliat Bisnis Spa di Bali
Pengusaha jasa spa di Bali kini resah. Kemunculan Undang-undang (UU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuat mereka ketar-ketir akan nasib usaha yang dijalani.
UU tersebut menggabungkan seluruh jenis pajak daerah yang berbasis konsumsi ke dalam satu jenis pajak baru, yaitu pajak baru dan jasa tertentu. Objek pajak barang dan jasa tertentu tersebut antara lain usaha makanan dan minuman, tenaga listrik, perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan. Khusus bisnis hiburan, pajak yang dibebankan mencapai 40 persen.
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan, pengusaha spa di Pulau Bali keberatan dengan kenaikan pajak 40 persen yang dibebankan. Seperti diketahui, bisnis spa masuk dalam kategori hiburan. Saat ini, ada sekitar 936 usaha SPA di Pulau Dewata.
"Menurut saya, itu kebijakannya akan bisa atau dapat ekstrem itu akan membunuh usaha daripada SPA. SPA dengan hiburan harus dibedakan, karena kalau hiburan dan karaoke mereka jual minuman dan segala macam atau diskotik, itu beda," kata Suryawijaya, saat dihubungi Senin (8/1).
Menurutnya, bisnis spa bagian dari kebugaran atau wellness. Sehingga tidak pas jika disamakan dengan operasional tempat hiburan seperti tempat karaoke atau hotel.
"Jangan disamakan, ini kan kebugaran karena kita ingin mereka (wisatawan) ke Bali juga merupakan kearifan lokal, dia bisa menyegarkan melakukan terapis SPA ini. Jadi beda," imbuhnya.
PHRI Bali mempertanyakan apa yang menjadi pertimbangan menaikkan pajak dari 15 menjadi 40 persen. Ratusan pengusaha spa di Bali keberatan dengan kebijakan itu. Apalagi, minim sosialisasi.
"Pelan-pelan ojo kesusu. Jangan ngaget-ngagetin usaha dan itu akan membunuh usaha kita, itu ekstremnya. Kita kan lagi baru recovery namanya, ini baru sembuh dari 2,5 tahun pandemi Covid," ujarnya.
Menurutnya, pajak di Indonesia paling tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lainya. Lucunya lagi, sudah tinggi juga memberatkan usaha. Tentu kondisi ini menyulitkan dunia usaha untuk tumbuh.
"Tax kita di Indonesia paling tinggiloh. Negara lain juga tidak akan memberatkan usaha itu. Bagaimana usaha tumbuh dan berkembang kalau bayar tax-nya 40 persen, bagaimana?. Sekarang operasional cost 60 persen dan bayar tax 40 persen, bagaimana bisa hidup," ungkapnya.
Pemprov Bali Khawatir Pajak 40% Bikin Bisnis SPA di Bali Gulung Tikar
Penjelasan Disbudpar
Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengamini besarnya pajak akan berdampak pada bisnis SPA di Bali.
Saat ini, pihaknya sedang melakukan kajian terkait kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang semula 15% menjadi 40%.
Buntut penerapan pajak tersebut, katanya, Bali SPA and Wellness Association (BWSA) Bali sempat mendatangi kantornya. Mereka menolak SPA dikategorikan sebagai hiburan sehingga terkena pajak 40%.
"Balinese SPA tradisional kita terkenal, bahkan terapis kita sampai ke luar negeri, Bali (SPA tradisional) itu terkenal sangat luar biasa dan itu masuk dihiburan termasuk yoga juga ini keberatan teman-teman," imbuhnya.
Kebijakan menaikkan pajak 40 persen itu, katanya, dari pemerintah pusat dan telah ada Undang-undangnya soal pungutan pajak tersebut.
"Jadi tentu, turunannya ada regulasi di bawahnya, dalam hal ini teman-teman kabupaten yang akan memungut (pajaknya). Saya tunggu arahan pimpinan, seperti apa dengan adanya kajian saya nanti. Apakah kita nanti bersurat dulu dan kita lihat nanti arahan pimpinan. Dan kajian belum selesai," katanya.
Sebagai informasi, Undang-undang (UU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menggabungkan seluruh jenis pajak daerah yang berbasis konsumsi ke dalam satu jenis pajak baru, yaitu pajak baru dan jasa tertentu.
Objek pajak barang dan jasa tertentu tersebut antara lain makanan dan minuman, tenaga listrik, perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan.
Namun, Pemda berwenang mengenakan pajak barang dan jasa tertentu (PJBT) yang sebelumnya 15 persen menjadi 40 persen dan maksimal 75 persen atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap atau spa. Sementara, tarif PBJT atas konsumsi listrik dari sumber lain oleh industri dan pertambangan migas maksimal 3 persen dan PBJT atas konsumsi lsitrik yang dihasilkan sendiri maksimal 1,5 persen.