Sampaikan Duplik, Mas Bechi Beberkan 70 Kejanggalan Dakwaan Jaksa
Perkara pencabulan dengan terdakwa Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (31/10). Dalam persidangan itu, pihak terdakwa menyampaikan duplik atau jawaban atas replik jaksa.
Perkara pencabulan dengan terdakwa Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (31/10). Dalam persidangan itu, pihak terdakwa menyampaikan duplik atau jawaban atas replik jaksa.
Penasihat hukum Mas Bechi, Gede Pasek Suardika atau akrab disapa GPS, mengatakan, pada duplik setebal 153 halaman itu, pihaknya sengaja menjabarkan 70 kejanggalan yang selama ini ada dalam dakwaan. Kejanggalan-kejanggalan itulah, menurutnya, menjadikan kasus ini sarat dengan rekayasa.
-
Kapan Ragit Jalo diburu masyarakat Palembang? Biasanya, ragit jalo diburu oleh masyarakat Palembang ketika Ramadan.
-
Kapan Ujung Kulon Janggan buka? Ujung Kulon Janggan dibuka mulai pukul 07.00 hingga 18.00.
-
Kenapa Senandung Jolo penting? Tradisi tutur sastra ini juga menjadi media pengetahuan budaya bagi masyarakat lokal hingga luar daerah.
-
Apa saja jenis pelanggaran pemilu yang terjadi di Jawa Tengah? “Data penanganan dugaan pelanggaran Pemilu 2024 di Jateng per 15 Juni 2023 menunjukkan bahwa 16 dugaan pelanggaran yang terbukti itu terdiri dari dua pelanggaran jenis administrasi, 10 pelanggaran jenis kode etik penyelenggara pemilu, serta empat pelanggaran hukum lainnya,”
-
Apa yang dilakukan Prabowo di Desa Pamabulan? Prabowo meresmikan sumber air bersih di Desa Pamabulan, Minggu (19/11).
-
Apa yang terjadi pada pipa PAM di Petamburan? Pipa 900 mm di Petamburan 4, Jakarta Pusat bocor pada Kamis (21/9).
"Sebenarnya secara lembaran lebih sedikit dari (pledoi) kemarin. Tetapi memang lebih detail, kita menyampaikan ada 70 kejanggalan. Secara detail kita urut dari proses ini dengan harapan betul-betul JPU dan hakim tahu. Kalau kasus biasa tidak mungkin kejanggalannya banyak," pungkasnya, Senin (31/10).
Ia menyebut, 70 kejanggalan yang diulasnya dalam duplik merupakan temuan peristiwa selama proses sidang berlangsung, termasuk di antaranya pengungkapan peristiwa pertama dan peristiwa kedua.
"Jujur kalau dilihat pada tanggal 29 Oktober 2019 itu yang mengaku korban melapor polisi. Tetapi pada 31 Oktober 2019 itu, Polres Jombang sudah mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) atas nama pelapor. Artinya, peristiwa sama, visum sama, semua dengan dakwaan sekarang. Hanya beda satu di SP3 kemudian entah bagaimana selisih hari ini melapor dua hari kemudian ada SP3. Kemudian kasus tetap berlanjut itu bagian potret sederhana betapa kasus ini sangat kuat rekayasanya dan pemaksaannya," tambah Gede Pasek.
Ia menjelaskan, kasus di-SP3-kan memang bisa diproses ulang tetapi tidak mudah. Karena ada urusan kepastian hukum. Syaratnya memang ada novum atau peristiwa yang baru di luar yang sudah disidik. Atau dengan mekanisme praperadilan dari pelapornya yang dikabulkan hakim praperadilan.
"Karena kalau kasus SP3, apalagi selisihnya dua hari kan aneh. Kan nekan dan proses kasus ini pada Polres Jombang alat buktinya sama. Tidak ada alat bukti tambahan. Kan aneh, artinya mengingkari keputusannya sendiri. Sebenarnya SP3 itu bisa diperiksa ulang kalau ada novum baru," tegasnya.
Kejanggalan soal SP3 dibahas secara khusus di dalam duplik, sebab perkara yang yang di SP3 itu menyangkut korban yang sama, alat bukti yang sama dan kronologis cerita yang sama. Dan dengan tegas disebutkan kasus itu dinyatakan tidak cukup bukti. Hal ini sebagaimana tercantum dalam SP3 dengan nomor Sprin/198/X/RES.1.24/2019/Satreskrim Res Jombang.
"SP3 keluar 31 Oktober 2019, sementara lapor kembali 29 Oktober 2019. Selisih 2 hari kasusnya dilanjutkan hingga dituntut maksimal 16 tahun. Lalu makna SP3 yang menyatakan tidak cukup bukti itu apa? Belum lagi P19 yang mencapai 6 kali lebih bolak-balik. Bagaimana publik meyakini itu profesional? Jelas itu sudah rekayasa struktur. Semoga majelis hakim teguh dengan keyakinannya untuk menegakkan keadilan," katanya.
Selain soal SP3, kejanggalan yang kembali diungkap adalah soal timbulnya hasil 3 visum. Kemunculan 3 visum dalam perkara yang sama itu disebutnya sebagai bukti nyata adanya upaya rekayasa kasus.
"(Tiga) visum yang dipakai itu sudah termasuk dalam pembuktian itu. Hari ini dimunculkan lagi di sini. Kalau bukan rekayasa tolong kasih saya nama lain. Penegak hukum tolong berikan saya contoh penyidikan seperti ini. Yang pasti fakta dari pengakuan itu tidak pernah diklarifikasi, langsung tersangka. Jadi kejanggalan ini kami ungkap di dalam persidangan sekarang," ujarnya.
"Kami berharap yang menyayangi Mas Bechi dan warga Shiddiqiyyah melanjutkan perjuangan dengan doa sampai sidang putusan 17 November mendatang. Doa memusat kepada kemuliaan Tuhan Yang Maha Adil," tambahnya.
Diwarnai Demonstrasi
Sementara itu, dalam sidang kali ini aksi demo sempat mewarnai Pengadilan Negeri Surabaya. Demo digelar oleh massa yang mengatasnamakan diri sebagai Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia (PCTAI).
Massa yang berasal dari berbagai lintas agama dan organisasi keagamaan itu, menggelar doa bersama, memberikan dukungan pada hakim dan Mas Bechi. Dalam orasinya, orator menyebut agar hakim dapat membebaskan Mas Bechi dari seluruh tuntutan jaksa.
"Mari kita doakan agar hakim dan Mas Bechi diberikan keselamatan dan dibebaskan dari hukuman," ujar salah satu orator.
Terpisah, menanggapi duplik ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Jaya menganggap duplik Mas Bechi itu tidak jauh berbeda dengan yang disampaikannya dalam pledoi atau pembelaannya. Dalam duplik tersebut, jaksa menganggap jika Mas Bechi pada intinya hanya minta dibebaskan dari semua tuntutan.
"Ya pada intinya hanya minta dibebaskan saja. Kami tetap pada tuntutan," ujarnya.
(mdk/yan)