Sewindu setelah Pramoedya tiada
"Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," kata Pramoedya seolah tak gentar terhadap kematian.
Persis pagi begini delapan tahun lalu, Pramoedya Ananta Toer pergi menuju keabadian. 30 April 2006 pukul 08.55 Wib, masa itu akhirnya datang juga, setelah Bung Pram – demikian ia disapa – justru mendorong ajal untuk menjemputnya.
"Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," kata Pramoedya seolah tak gentar terhadap kematian, beberapa jam sebelum dia tiada.
Pramoedya saat itu ditunggui secara intens oleh istri dan keluarga, setelah dia tak sadarkan diri tiga hari sebelumnya. Dirawat di RS Saint Carolus, Pramoedya didiagnosa radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Sastrawan yang juga perokok berat ini akhirnya dimakamkan secara Islam di TPU Karet Bivak, Jakarta. Lagu Internationale dan Darah Juang tetap ikut menghantarkannya menuju keabadian.
Dalam kenangan, Pramoedya adalah sastrawan besar yang pernah dimiliki republik ini. Lewat tangan pria kelahiran Blora 6 Februari 1925 ini, lebih 50 karya sastra dihasilkan dan lebih dari 80 persennya diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Karya-karya besar justru dihasilkannya saat menjadi tahanan politik Orde Baru –tanpa proses peradilan – selama 14 tahun. Meski dilarang menulis di Pulau Buru, tempat dia diasingkan, Pram melahirkan karya terbesar dalam sejarah kepenulisannya justru di pulau sunyi itu: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Empat novel bersambung fiksi sejarah itu biasa disebut Tetralogi Pulau Buru. Entah sudah ke dalam berapa bahasa empat novel itu diterjemahkan hingga kini. Dalam sebuah catatan, peneliti sastra Ariel Heryanto bahkan menyebut Tetralogi Pulau Buru itulah menjadi salah satu puncak karya sastra terbesar di abad 20.
"Ini bukan saja sebagai karya sastra dari penulisnya, tetapi juga bagi seluruh kesusasteraan bangsa Indonesia, jika bukan Asia Tenggara," ujar profesor dari Australian National University ini.
Tanpa tandingan, kata Ariel, kata karya itu menguak sejarah terbentuknya bangsa-negara Indonesia dengan aneka kompleksitasnya, termasuk apa artinya menjadi Indonesia bagi seorang petani, pelacur, pemuda, istri, wartawan, polisi hingga preman.
"Ia (Pram) menjungkir-balikkan sejumlah mitos yang diajarkan Departemen Kebudayaan dan Pendidikan dan Departemen Penerangan setiap hari berpuluh tahun kepada jutaan anak-anak sekolah sebagai pelajaran sejarah nasional," kata Ariel.
Kini, sewindu sudah Bung Pram tiada. Sosok dan karyanya selalu dikenang sebagai bagian dari sejarah bangsa dan negara yang justru pernah memenjarakannya. Bung Pram, engkau tetap dikenang sebagai seorang yang ‘berlaku adil sejak dalam pikiran.’