Sidang gugatan jabatan wapres, hakim MK tanya apakah JK bersedia maju Pilpres
Dalam persidangan, salah satu kuasa hukumnya, Dorel Armil, menyampaikan, pemohon I, yakni Muhammad Hafidz, memiliki legal standing, karena berpartisipasi memenangkan Jusuf Kalla atau JK sebagai Cawapres periode 2014.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan gugatan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sidang dipimpin Hakim Panel Wahiduddin Adams, kemudian anggotanya Saldi Isra, dan I Dewa Gede Palguna.
Adapun yang diuji salah satunya mengenai frasa presiden atau wakil presiden, serta frasa selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Perkara dengan nomor 36/PUU-XVI/2018, diajukan oleh seorang warga negara bernama Muhammad Hafidz, Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak), serta Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS), yang mempermasalahkan Pasal 169 huruf n, Pasal 270 dan Pasal 227 huruf i.
-
Kenapa Ridwan Kamil menemui Jusuf Kalla? “Beliau kan orang pintar ya dan penuh dengan pengalaman, arif, bijaksana. Sehingga saya perlu mendapatkan arahan, wejangannya dari beliau,” sambungnya.
-
Bagaimana Jusuf Kalla menilai dampak dari hukuman terhadap BUMN yang rugi? Kalau suatu kebijakan bisnis, langkah bisnis rugi cuma dua kemungkinannya, dia untung, dan rugi. Kalau semua perusahaan rugi, maka seluruh BUMN karya harus dihukum, ini bahayanya, kalau satu perusahaan rugi harus dihukum, maka semua perusahaan negara harus dihukum, dan itu akan menghancurkan sistem," ujar JK.
Dalam persidangan, salah satu kuasa hukumnya, Dorel Armil, menyampaikan, pemohon I, yakni Muhammad Hafidz, memiliki legal standing, karena berpartisipasi memenangkan Jusuf Kalla atau JK sebagai Cawapres periode 2014.
Sedangkan, masih kata dia, pemohon II dan III, jelas merupakan organisasi yang memiliki badan hukum, sehingga juga memiliki legal standing.
"Pemohon I juga telah ikut berpartisipasi dalam memenangkan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden melalui pemilihnya, untuk memilih Jokowi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak Pemohon I untuk juga dipilih. Dalam hal ini termasuk dipilih secara potensial sebagai Presiden dan Wakil Presiden di masa yang akan datang. Sehingga hak konstitusional tersebut memang diberikan oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7," ucap Dorel di persidangan, Jakarta, Senin (14/5).
Dia menuturkan, pemohon menyadari meskipun calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.
"Akan tetapi harapan pemohon untuk dapat kembali mengusung Pasangan Calon Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Petahana, Jusuf Kalla, yang memiliki komitmen dan kerja nyata dalam penciptaan lapangan kerja berkelanjutan, dapat terhalangi dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 270, Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu," jelas Dorel.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon yang lain, Dewi Kemala Mirza Andalus, menyatakan, Frasa presiden atau wakil presiden pada Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu, haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat dengan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut dia, alasan mendasar, lantaran kata 'dan' dalam frasa tersebut memberikan makna, jabatan dua kali baik Presiden maupun Wakil Presiden, itu dilakukan dalam periode yang sama. Berbeda, masih kata Dewi, dengan rumusan norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu yang menggunakan kata 'atau'.
"Dengan demikian, frasa Presiden atau Wakil Presiden pada Pasal pada Pasal 169 huruf n dan pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu, haruslah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Presiden dan Wakil Presiden," jelasnya.
Dewi juga memandang, keberadaan pasal tersebut, membuat tidak tegasnya aturan. Menurut dia, ini dapat memberikan keragu-raguan, serta mengakibatkan ketidakpastian hukum apabila dipersandingkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa dan sesudahnya dapat dipilih kembali yang bermakna 'berturut-turut'.
"Maka guna meniadakan keragu-raguan dan untuk memberikan kepastian hukum atas masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, menjadi relevan apabila pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam frasa selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu, sepanjang tidak dimaknai 'tidak berturut-turut’,' ungkap Dewi.
Tanggapan Hakim Panel
Ketua Hakim Panel, Wahidin, meminta penjelasan kepada pemohon I, yaitu perseorangan. Dia mempertanyakan, kerugian konstitusional apa yang didapatkan oleh Muhammad Hafidz, dan menanyakan apakah memang JK mau maju kembali.
"Ini perlu dipertajam, terkait sebagai penalaran yang wajar kerugian konstitusional dari Saudara, ya. Karena apa? Karena Saudara menyebut statusnya sebagai pendukung. Pendukung perorangan ini harus dipertajam betul dalam konteks apa pendukung ini? Saudara sebutkan. Pendukung dari calon wakil presiden yang mungkin akan maju. Nah, ini ya. Coba nanti diuraikan hal seperti itu," ungkap Wahidin.
Selain itu, hakim Panel I Dewa Gede Palguna, meminta para pemohon, menjelaskan maksud dari menjabat berturut-turut. Dia pun memberi contoh, ini bisa saja menimbulkan presiden seumur hidup.
"Misalnya, saya sekarang jadi wakil presiden atau jadi presiden, pemilu berikutnya. Saya ndak mencalonkan diri lagi, pemilu berikutnya saya mencalonkan diri lagi, sudah, dua kali. Pemilu berikutnya ndak mencalonkan lagi, pemilu berikutnya saya mencalonkan lagi. Berarti, seumur hidup orang bisa menjadi presiden atau wakil presiden sepanjang dia tidak berturut-turut. Kan logikanya begitu? Nah, tolong bantah logika itu dalam argumentasi saudara, kalau memang Saudara mau men-challenge pasal tentang pembatasan masa jabatan ini, gitu. Itu penting untuk disampaikan," ungkap Palguna.
Senada, Hakim panel Saldi Isra, menjelaskan, jika menggunakan logika Bahasa Indonesia yang sederhana, jabatan kedua itu baru ada setelah masa jabatan pertama.
"Itu logika sederhananya. Jadi, jabatan kedua itu baru ada setelah jabatan pertama. Kalau ada orang jadi presiden satu periode kosong, satu periode tiba-tiba jadi presiden atau wakil presiden lagi, lalu kemudian dibenarkan untuk ikut sekali lagi, bagaimana mengatakan bahwa itu satu apa tidak lebih dari dua periode? Nah, tolong itu dicarikan, sehingga, kami Majelis bisa terbantu untuk memahami perkembangan baru dalam melihat ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, kalau nanti dikaitkan dengan Pasal 169 huruf n dan penjelasannya itu," jelas Saldi.
Usai menyampaikan hal tersebut, Ketua Hakim Panel Wahidin Adams, mengingatkan pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat Senin, 28 Mei 2018, pukul 10.00 WIB, yang diserahkan ke Kepaniteraan. Lepas itu, dia pun menutup jalannya persidangan.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6.com
Baca juga:
Jimly minta MK pertegas aturan boleh tidaknya JK maju Cawapres lagi
Ketua DPR ingin ambang batas parlemen jadi 6 persen supaya jumlah partai sedikit
Soal peluang JK jadi cawapres Jokowi, NasDem tunggu putusan MK atas gugatan UU Pemilu
PDIP akui JK jadi pilihan cawapres Jokowi jika uji materi dikabulkan MK
Soal JK jadi cawapres Jokowi lagi, Golkar tunggu uji materi UU Pemilu
Tolak uji materi UU Pemilu, Agung Laksono dinilai bukan ingin menjegal JK
Kesbangpol Kabupaten Kobar gelar sosialisasi UU Pemilu & Dana Parpol di Pangkalan Bun