Takut anaknya dipenggal Abu Sayyaf, ibu Ariyanto segera temui Jokowi
Keluarga khawatir jika anaknya turut menjadi sasaran akibat permintaan tebusan tak direalisasikan.
Keluarga Kapten Moch Ariyanto Misnan (22), berencana mendatangi Istana Negara untuk menemui Presiden Joko Widodo. Kedatangan itu, untuk mempertanyakan langsung proses pembebasan ABK kapal TB Henry yang disandera kelompok militan Filipina.
"Rencananya akhir bulan ini, setelah anak saya (Kapten Ariyanto) gajian," kata ibunda Kapten Ariyanto, Melati Ginting (52), Selasa (26/5).
Selain akan menyambangi Istana Negara, Melati juga akan mendatangi Kantor Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Harapannya, keluarga mendapatkan kepastian dan penjelasan secara langsung dari pemerintah proses pembebasan dan kondisi terakhir anaknya di Filipina.
"Saya ingin menyampaikan perasaan saya sebagai seorang ibu dari anak yang disandera perompak kepada presiden langsung," kata warga Taman Narogong Indah, Rawalumbu, Kota Bekasi ini.
Melati mengaku, setelah ada informasi eksekusi sandera oleh Abu Sayyaf, keluarga semakin khawatir dengan kondisi Kapten Ariyanto. Sebab, keluarga khawatir jika anaknya turut menjadi sasaran akibat permintaan tebusan tak direalisasikan.
"Setiap hari saya deg-degan, kepikiran anak terus, enggak bisa tidur," ujar ibu lima anak ini.
Sejauh ini, kata dia, pihak perusahaan Rian, sudah mengunjungi rumah Melati untuk membahas masalah ini. Pihak perusahaan pun berjanji akan berusaha membebaskan Rian dengan cara membayar uang tebusan yang diminta kelompok militan itu.
"Pihak perusahaan berjanji akan menebus anak saya, tapi saya nggak tahu itu benar atau tidak. Saya berharap itu benar, sehingga anak saya bisa dibebaskan oleh kelompok di sana," ujar Melati.
Seperti diketahui, kapal berbendera Indonesia yakni milik PT. Global Trans Energy International yaitu kapal TB Henry dibajak di perairan perbatasan antara Filipina dan Malaysia. Dari 10 anak buah kapal, 4 di antaranya masih disandera pembajak.
Empat orang masih disandera antara lain, Moch Ariyanto Misnan (kapten), Lorens MPS, Dede Irfan Hilmi dan Samsir. Para militan yang menyandera meminta uang tebusan sekitar Rp 14,5 miliar.