Tetapkan tersangka Bansos sekolah, Kapolres ini dilaporkan ke Propam
Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Siak, AKBP Ino Harianto diduga rekayasa kasus.
Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Siak, AKBP Ino Harianto, yang memimpin penanganan kasus dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) E-Learning tahun 2014, di 48 sekolah dasar di Kabupaten Siak Riau, dilaporkan ke Propam Polda Riau.
Kabid Propam Polda Riau, AKBP Anggoro Sukartono, membenarkan ada pengaduan tersebut, yang melaporkan adalah Razman Arif Nasution, selaku Kuasa Hukum Sofyan, tersangka dalam kasus dugaan korupsi tersebut. "Baru laporan lisan saja," ujar Anggoro, Rabu (6/1).
Menurut Anggoro, proses pelaporan tersebut biasa terjadi dan dilakukan oleh Kuasa Hukum tersangka. Begitu juga yang berkaitan dengan perlindungan hukum yang diajukan terhadap penanganan suatu perkara.
"Beliau (Razman Arif Nasution) minta perlindungan hukum atas penanganan kasus yang dialami kliennya," kata Anggoro.
Terkait laporan tersebut, Anggoro memastikan pihaknya akan mendalami dengan melakukan investigatif. Dia menegaskan, jika terjadi kesalahan maka akan dikenakan sanksi.
"Salah atau tidak, tergantung hasil audit (invetigasi)," tegasnya.
Sementara itu, Razman Arif Nasution mengatakan, kliennya Sofyan, mantan Kabid Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Siak, ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut dengan pasal turut serta. Sedangkan pelaku utama dalam kasus ini belakangan baru dinyatakan atau ditetapkan sebagai tersangka setelah Sofyan.
"Pasal turut serta seharusnya menjadi bagian kedua untuk diproses setelah tersangka utamanya diamankan ditangkap," ujar Pengacara yang pernah menangani perkara praperadilan melawan KPK, terkait penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan.
Razman kemudian melaporkan penanganan perkara tersebut ke Bid Propam Polda Riau. Razman yang sebelumnya juga telah bertemu Kapolda Riau, Brigjen Pol Dolly Bambang Hermawan, meminta agar Bid Propam Polda Riau melakukan audit investigatif dalam penanganan perkara terhadap kliennya.
"Saya surati untuk dilakukan audit investigatif apakah sudah sesuai KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Kalau rekayasa, saya minta dia berhenti sebagai anggota Polri," tegas Razman.
Selain itu, Razman yang juga pernah mendampingi mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam perkara yang menuntut salah satu stasiun televisi nasional itu, juga mempertanyakan penetapan tersangka utama, yakni Direktur CV Assa Mandiri, berinisial IS.
Proses penyidikan terhadap tersangka IS tidak disampaikan kepadanya. Belakangan ia mengetahui adanya tersangka utama ini dari pesan singkat Kapolda Riau kepadanya pada pertengahan Desember 2015 silam.
"Kejaksaan Negeri Siak juga harus mempertanyakan, mana tersangka utamanya. Sementara ini turut serta (kliennya), mana proses penyidikannya," kata Razman lagi.
Menurut Razman, dalam perkara ini kliennya tidak bisa menjadi tersangka, karena program tersebut langsung berhubungan antara Kementerian Pendidikan dengan para Kepala Sekolah, termasuk di Kabupaten Siak.
"Kepala sekolah, ini juga pelaku utama, karena yang melakukan transaksi langsung dengan IS. Ini (E-Learning), yang teken kontrak bukan dia (Sofyan). Langsung Kepala Sekolah dengan IS. Kan aneh ini, yang tidak tandatangan (kontrak pengadaan) dijadikan sebagai tersangka," keluhnya.
Kasus ini berawal saat program E- Learning dialokasikan langsung dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dengan alokasi anggaran Rp 2,5 Miliar. Dana ini disalurkan langsung kepada rekening sekolah berjumlah 48 sekolah di Kabupaten Siak.
"Rp 2,5 miliar itu tidak lewat dia (Sofyan,red). Ini semua lewat Kementerian Pendidikan ditransfer ke Kepala Sekolah," terang dia.
Saat proses sosialisasi dilakukan, pihak sekolah telah diingatkan oleh Kementerian, agar proses realisasi pengadaan barang E-Learning itu, nantinya tidak melalui pihak ketiga, karena anggaran kegiatan diposkan pada alokasi Bansos yang sifatnya swakelola.
Sementara, dalam perjalanan kasusnya, seseorang berinisial IS, Direktur CV Assa Mandiri dinilai sebagai salah seorang yang turut bertanggung jawab. Belakangan ia ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Terlepas soal itu, perkara Tipikor tersebut terungkap setelah ada laporan yang masuk kepada pihak penyidik polisi tentang barang barang yang dibeli oleh setiap sekolah tidak sesuai dengan spesifikasi. Diduga ada indikasi mark-up atau pengelembungan harga dalam setiap belanja barang yang berbentuk laptop atau notebook tersebut.