Wanita cantik ini praperadilankan polisi SP3-kan kasus bupati Taput
Sebelumnya Widhiastuty mengaku dianiaya oleh bupati Taput yang kala itu masih menjadi calon bupati.
Seorang warga Cirebon, Widhiastuty Suwardianto (38), memohon keadilan di Pengadilan Negeri (PN) Medan. Dia mempraperadilkan polisi karena menghentikan penyelidikan kasus penganiayaan yang melibatkan Bupati Tapanuli Utara (Taput) Nikson Nababan.
Sidang praperadilan itu digelar di PN Medan, Selasa (17/2). Perkara itu diadili hakim tunggal Waspin Simbolon.
Widhiastuty memohon agar hakim menyatakan penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polresta Medan tidak sah. "Saya ingin dapat keadilan. Saya ingin kasus penganiayaan ini diteruskan," ucap Widya.
Berdasarkan pengakuan Widhiastuty, penganiayaan itu terjadi di kamar 805 Hotel Soechi, Jalan Cirebon, Medan pada 20 November 2013. Ketika itu, Nikson masih menjadi calon Bupati Taput yang akan bertarung pada putaran dua.
"Dia meminta saya datang ke Medan untuk mensupport secara pribadi karena dia kalah pada putaran pertama," ucap Widhiastuty.
Mereka bertemu di kamar 804 Hotel Soechi pada 19 November 2013. Keesokan harinya perempuan ini mengaku dipukuli Nikson hingga mengalami luka di bagian wajah.
Widhiastuty yang mengaku berhubungan dekat dengan Nikson sejak 2011 langsung melaporkan kejadian itu ke Mapolsek Medan Kota dengan bukti lapor LP/1860/K/XI/2013/SU/Polres Medan/Sek M.Kota.
"Setelah saya lapor, saya di-BAP, disuruh visum di RS Bhakti. Kemudian kembali lagi ke Polsek, setelah itu disuruh pulang ke hotel," ucapnya.
Keesokan harinya, Widhiastuty pulang ke Lippo Karawaci, Tangerang, alamatnya sebelum pindah ke Cirebon 2 bulan belakangan. Sekitar sepekan setelah dia pulang, Nikson memintanya datang ke Medan mengajaknya bertemu di Swiss-Belhotel. Ketika itu, Widya tidak sendirian, dia ditemani abangnya.
Dalam pertemuan, Nikson kemudian meminta Widhiastuty mencabut laporan pengaduan. "Tapi saya tidak mau cabut laporan saya," aku perempuan itu.
Meski Widhiastuty tidak pernah mencabut laporan pengaduannya, namun kasus itu tidak berlanjut. "Saya tahu kasus itu dihentikan justru dari media massa," jelasnya.
Karena kasusnya dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) no SP. HENTI SIDIK/2301-a/2015/Reskrim tertanggal 8 Januari 2015, Widhiastuty pun mempraperadilkan Polresta Medan. Dia berharap kasus itu bisa dilanjutkan agar ada kepastian hukum.
Sementara kuasa hukum termohon, Lalu Musti Ali, menyatakan tindakan penyidik sudah sesuai prosedur.
"Tidak ada saksi lain yang melihat kejadian itu, selain pemohon yang melapor. Satu saksi bukan saksi. Selain itu alamat pemohon juga tidak jelas dan mempunyai identitas ganda. Dia sudah dipanggil dua kali tapi tidak datang, karena alamatnya memang tidak jelas," ucap Lalu seusai sidang.
Pernyataan Lalu langsung dibantah kuasa hukum Widhiastuty, CP Siregar. Dia menyatakan, polisi tidak bisa menjadikan kartu identitas sebagai alasan menghentikan penyelidikan. Sesuai pengakuan Widhiastuty, kata Siregar, kliennya sama sekali tidak pernah menerima surat panggilan. Terlebih, perempuan itu memberi seluruh keterangan dalam BAP.
"Soal KTP itu tidak relevan. Klien kami juga sudah meninggalkan nomor telepon, tapi tidak pernah dihubungi. Selain itu, kan aneh mereka mengirim surat panggilan tapi tahu alamatnya salah, kemudian kembali lagi mengirim surat ke alamat itu," jelas Siregar.
Menurut dia, kasus itu sudah cukup unsur untuk dilanjutkan. "Bagaimana orang lain melihat kejadian itu, karena korban dan pelaku ada hubungan khusus. Ya cuma ada mereka di ruangan itu. Tapi kan ada bukti visum dan pengakuan," ucap Siregar.
Hakim Waspin Simbolon menunda sidang perkara praperadilan ini. Sidang rencananya akan digelar pada 19 Februari mendatang.