Warok Ponorogo, dari rebutan gemblak lalu merebut kemerdekaan
Jejak perjuangan warok Ponorogo tercatat pada 1832 setelah perang Diponegoro usai. Inilah kontekstualisasi sifat warok.
Gemblak harus siap berperan layaknya teman hidup bagi warok. Terkadang warok memperlakukan gemblak lebih mesra daripada istrinya sendiri. Perlakuan ini tak jarang bisa menyulut api cemburu sang istri.
"Gemblak dalam tradisi dicium, dipeluk, dan diajak jalan-jalan, itu berkaitan sebagai pengalihan sperma bagi warok, kalau itu penyimpangan nggak mungkin warga menerima. Biasanya warok nalurinya lebih dekat ke gemblakannya. Di Ponorogo patriarkinya kuat, enggak protes istrinya," kata Suharto pelaku kesenian Reog, saat dihubungi merdeka.com, Minggu (11/5).
Menurut Suharto, jejak perjuangan warok Ponorogo juga tercatat pada tahun 1832 setelah perang Diponegoro usai. Seluruh bupati dan kepala daerah di Jawa menyerah kepada Belanda. Bupati Ponorogo itu warok Brotodirjo III menolak menyerah. Inilah kontekstualisasi sifat warok di era penjajahan.
Kecemburuan warok pada gemblakannya pun sempat memunculkan persoalan bagi Belanda. Gerombolan warok Ponorogo sering membuat ulah dan berbuat onar. Mereka saling serang antar kelompok warok demi memperebutkan gemblak idola.
"Konflik rebutan gemblak tadi itu karena warok lebih cemburu ke gemblak daripada ke wanita. Belanda mencatat tahun 1913, dua kelombok warok bersaing bunuh-bunuhan memperebutkan gemblak. Paguyuban Reog di Ponorogo akhirnya dilarang Belanda sampai tahun 1932 karena sering membikin onar," terang dia.
Tidak hanya itu, terdapat tokoh warok yang sempat membuat pihak Belanda ketar-ketir. Asisten Residen Belanda di Madiun dibunuh oleh salah seorang warok sakti dari Ponorogo. Para warok juga membakar gudang-gudang persenjataan dan komoditas perdagangan Belanda.
"Dari Ponorogo ada warok Martopuro yang membunuh Asisten Residen Madiun William Vansen. Mereka juga banyak membakar gudang senjata dan kopi milik Belanda," ujar dia.
Namun, warok juga meninggalkan jejak hitam dalam peristiwa Madiun 1948. Mereka diduga sebagai algojo terhadap nyawa rakyat pada peristiwa tersebut. Warok diidentikkan dengan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Warok itu terkesan abu-abu dan hitam karena peristiwa Madiun 1948. Kebanyakan yang membantai masyarakat Madiun sampai Blora itu barisan warok yang masuk faksi PKI, sekarang warok terkenal sebagai orang kejam," tegas dia.
Pasca rentetan peristiwa Madiun 1948 dan G30 S PKI tahun 1965 pamor warok mulai menurun. Pemerintah melarang berdirinya padepokan Reog Ponorogo. Pentas Reog di muka umum pun ikut dilarang guna mencegah berkumpulnya massa. Baru menginjak tahun 1990-an Reog kembali bangun dari tidurnya.
"Karena warok orang kuat yang cenderung para militer dan terlibat peristiwa 1948, 1965 akhirnya dunia warok dilakukan penindasan oleh Orde Baru di Ponorogo. Waktu tahun 1990-an ke atas hidup kembali oleh prakarsa para kyai NU yang menganggap tidak semua warok terlibat komunis."
"Kemudian dibentuk INTI (Insan Taqwa Ilahi), warok-warok yang senior dijadikan kepala desa yang belum menikah dinikahkan, yang Islamnya kuat dinaikkan haji oleh pemerintah Ponorogo, mereka dirangkul," pungkas dia.