'Ada RRI, bagaimana mungkin 8 lembaga survei memanipulasi'
RRI adalah lembaga penyiaran milik publik yang sahamnya dikuasai pemerintah.
Tudingan kubu Prabowo - Hatta bahwa 8 lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi - JK adalah bayaran dan manipulasi dinilai sebagai tuduhan tak masuk akal dan tak berdasar. Sebab, lembaga tertuding adalah yang selama ini dikenal kredibel. Terlebih, salah satunya adalah lembaga penyiaran milik publik yang sahamnya dikuasai pemerintah.
"Di situ ada RRI. Bagaimana mungkin 8 lembaga survei bisa memanipulasi dan di dalamnya ada RRI?" kata dosen Ilmu Politik dari Universitas Gadjah mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, lewat pernyataan tertulis, Kamis (10/7).
Menurut Ari, salah satu yang mengejutkan adalah hasil hitung cepat Poltracking Institute. "Lembaga survei ini awalnya justru dikontrak tvOne yang condong ke Prabowo - Hatta. Namun di tengah jalan akhirnya menarik diri karena memprediksi kemenangan Jokowi dengan angka 53,37 persen di atas Prabowo Hatta 46,63 persen," ucapnya.
Ari menjelaskan dari rilis hasil quick count terlihat ada dua pengelompokan. Ada 8 lembaga survei yang memprediksi kemenangan Jokowi - JK dengan selisih sampai 1,9 persen-6,74 persen. Sebaliknya, ada 4 lembaga survei yang mengunggulkan Prabowo Hatta dengan selisih 0,28 persen-4,1 persen.
Sementara RRI, yang merupakan lembaga penyiaran publik dan dimiliki pemerintah, hasil hitung cepatnya memprediksi kemenangan Jokowi - JK 52,71 persen, di atas suara Prabowo - Hatta 47,29.
Selain RRI, 7 lembaga survei yang memprediksi kemenangan Jokowi adalah lembaga survei yang sering menjadi rujukan utama dalam prediksi pemilu maupun pilkada. Sejak 2004, kata Ari, hasil quick count mereka tak jauh dari hasil yang sebenarnya.
Ari melanjutkan pengelompokan hasil quick count yang berbeda itu seharusnya tidak terjadi jika lembaga survei konsisten dalam menerapkan metodologi dan berjalan dalam kaidah-kaidah etika surveyor. Dengan metode quick count yang sama, seharusnya hasil yang diperoleh juga sama.
Menurut dia, fenomena perbedaan hasil quick count itu menyiratkan urgensi audit lembaga survei abal-abal, baik dari sisi pertanggungjawaban metodologi, maupun sumber dananya.
"Tanpa itu, lembaga survei abal-abal hanya menjadi alat untuk propaganda politik, digunakan sebagai alat politik pragmatisme pihak yang takut kalah dan akhirnya membodohi rakyat," tandas Ari.