Aksi kamisan ke-357 menolak capres pelanggar HAM
Aksi ini terinspirasi dari aksi "Plaza De Mayo" di Buenos Aires, Argentina, yang digelar setiap hari Selasa.
Sore ini, Kamis 26 Juni 2014, Gerakan Rakyat Melawan Lupa kembali menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara. Pada aksi Kamisan ke-357 itu, para aktivis mengusung sejumlah tuntutan seperti hapuskan penyiksaan dan penculikan di Indonesia, tangkap dan adili panjahat di Pengadilan HAM ad hoc, serta menolak calon presiden pelanggar HAM, yakni Prabowo Subianto.
Juru bicara Gerakan Rakyat Melawan Lupa, Maruli Rajaguguk mengungkapkan, akan terjadi kemunduran sejarah jika Indonesia kembali dipimpin oleh presiden yang diduga terkait dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Karena itu, "Kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menyelamatkan demokrasi dari capres penjahat HAM dalam hal ini Prabowo Subianto," kata Maruli, yang juga aktivis LBH Jakarta itu.
Bergerak dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, para aktivis dan korban pelanggaran HAM itu melakukan long march ke Istana Negara. Mengenakan pakaian berwarna hitam, mereka berorasi dan melakukan aksi teaterikal.
Pada aksi ke-357 ini juga diikuti anggota Federasi Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Indonesia, seperti dari Sumatera Utara, Lampung, Jabodetabek, Jawa Tengah, JawaTimur, DIY, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, hingga Papua. "Kami menuntut agar kasus penculikan aktivis 1997/1998 segera dituntaskan," ujar Mugiyanto, Ketua Ikohi Indonesia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ikohi telah mengeluarkan sejumlah resolusi terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu, yang hingga kini tidak kunjung diselesaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Resolusi itu antara lain: Pertama, Menolak Prabowo sebagai capres. Dua, Menuntut kepada SBY menjalankan rekomendasi DPR tahun 2009 dalam kasus orang hilang 1997/1998 (1. Pencarian 13 aktivis yang hilang, 2. Keprres pengadilan HAM ad hoc, 3. Rehabilitasi dan kompensasi, 4. Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa Internasional) Tiga, Menuntut pada pemerintah SBY dan presiden terpilih mendatang untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Empat, Memberikan dukungan pada Jokowi untuk menuntaskan kasus orang hilang dan pelanggaran HAM di masa lalu. Lima, Bila pemerintah Indonesia tidak menunjukkan itikad politik kasus penculikan aktivis dan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, maka akan diadukan ke mekanisme HAM internasional.
Aksi konsisten yang terus dilakukan oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia ini terinspirasi dari aksi "Plaza De Mayo" di Buenos Aires, Argentina, yang digelar setiap hari Selasa. Aksi tersebut dilakukan oleh para ibu yang anak menjadi korban penculikan rezim militer.
Dimulai kali pertama pada 30 April 1977, para ibu yang anak atau keluarganya diculik rezim militer Argentina pada tahun 1976-1983, terus memutari Plaza de Mayo di depan Istana Presiden Argentina The Casa Rosada untuk menyampaikan tuntutan, hingga akhirnya dipenuhi setelah berjuang selama 25 tahun.
Oleh sejumlah organisasi pegiat HAM dan aktivis HAM, aksi fenomenal tersebut lantas diadopsi untuk menagih janji presiden yang akan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Namun sayangnya, aksi Kamisan yang hingga hari ini telah dilakukan hingga 357 kali itu, tak kunjung mendapat perhatian Presiden SBY, yang hampir 10 tahun menjadi Presiden Indonesia.
Sejumlah tragedi kemanusian yang hingga hari ini masih dirundung kabut gelap dan pelakunya belum tersentuh tangan hukum antara lain: tragedi pembantaian 1965, tragedi Talangsari, tragedi Tanjungpriok, tragedi 27 Juli 1996, tragedi penculikan aktivis, tragedi Trisakti, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I dan Semanggi II, serta pembunuhan Munir. (skj)