Golkar diharapkan pilih pemimpin yang punya kemampuan luar biasa
Figur ketua umum Golkar ke depan harus mencintai organisasi partai dan memiliki rekam jejak yang baik.
Pengamat politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan Partai Golkar membutuhkan figur ketua umum yang memiliki kemampuan luar biasa. Itu perlu dilakukan lantaran partai tersebut sedang terpuruk bukan saja karena terjebak perpecahan internal, melainkan juga karena banyak kalah dalam Pilkada serentak 2015.
"Partai Golkar dalam kondisi sangat terpuruk akibat terjadinya perpecahan kepengurusan. Dibutuhkan sosok yang pintar, bisa mempersatukan dua kubu yang saling berseberangan untuk mengembalikan kejayaan Partai Golkar," kata Siti Zuhro, di Jakarta, Rabu (17/2). Seperti dilansir Antara.
Dia mengatakan, figur ketua umum Golkar ke depan harus mencintai organisasi partai dan memiliki rekam jejak yang baik, serta tidak ngotot meraih jabatan politik. Selain itu, figur itu juga harus memiliki kompetensi baik dan tidak menjadikan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam Pilpres 2019.
"Calon ketua umum seharusnya juga bukan figur yang punya masalah, baik di internal maupun di eksternal partai," ujarnya.
Siti mengatakan, seharusnya calon ketum Golkar adalah figur yang mampu menyelesaikan masalah, bukan yang malah menambah beban masalah. Saat ditanya siapa kandidat yang memenuhi syarat itu, dia menilai Idrus Marham memiliki kriteria-kriteria tersebut.
"Saya kira salah satunya adalah Idrus Marham yang memiliki kriteria itu," ucap Siti.
Menurut Siti Zuhro, jika Idrus Marham maju sebagai calon ketua umum, maka dia harus bisa mendengarkan aspirasi dari dua kubu yang sebelumnya bertentangan.
Sementara itu, rencana politikus Golkar Setya Novanto maju sebagai calon ketua umum justru menjadi sorotan. Sebab, Novanto yang kini memimpin Fraksi Golkar DPR dianggap punya cacat dan cela.
Pengamat politik Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menuturkan Golkar punya syarat sebagai ukuran khusus bagi calon ketua umum. Yakni prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela (PDLT).
"Hemat saya dia (Novanto) kurang memenuhi syarat PDLT itu," tegas Asep.
Asep menjelaskan, poin 'tidak tercela' menjadi sumber kelemahan Novanto. Pasalnya, mantan bendahara umum Golkar iru memang pernah punya masalah hukum dan etika.
Pertama adalah ketika Novanto di sela-sela kunjungan kerjanya ke New York, justru hadir di acara bakal capres AS dari Partai Republik, Donald Trump. Dalam perkara itu, Novanto dihukum sanksi ringan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
Kedua adalah kasus dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden terkait pertemuan Novanto dengan pengusaha M Riza Chalid dan Maroef Sjamsoeddin saat masih memimpin PT Freeport Indonesia. Dalam kasus yang belakangan dikenal dengan sebutan Papa Minta Saham itu Novanto juga mendapat sanksi sedang dari MKD.
"Walau Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR, tetap saja sanksi sedang dari MKD. Itu tegas disampaikan Ketua MKD Pak Surahman Hidayat, bahwa mayoritas hakim menghukum dengan sanksi sedang. Dan itulah putusan MKD," jelasnya.
Menurut Asep, posisi Novanto secara hukum juga belum kelar. Sebab, Kejaksaan Agung masih menyelidiki kasus Papa Minta Saham. Namun demikian, Asep mengaku bisa memahami rasa percaya diri Novanto untuk maju sebagai calon ketua umum. Asep menduga Novanto memang sudah menghidupi banyak orang di Golkar.
"Maka itu Novanto jadi merasa punya angin segar. Makanya sekarang saya ingatkan Novanto, bahwa di Golkar ada prinsip PDLT itu. Masing-masing poinnya berbeda tapi sagu kesatuan. Seorang pemimpin Golkar harus lengkap punya semua unsur itu," tegas dia.
Lebih lanjut Asep mengatakan, jika Golkar sampai memilih Novanto sebagai ketua umum maka persoalan yang dihadapi partai berlambang beringin itu akan semakin banyak. "Apalagi sekarang era Revolusi Mental yang diusung Pak Jokowi, demi pemerintahan bersih dan berwibawa. Kalau ada unsur tercela itu, nanti Golkar akan dianggap tak berwibawa."
Apabila Novanto tetap memaksakan diri maju menjadi calon ketua umum Golkar, Asep memprediksi wibawa dan citra Partai Golkar akan semakin menurun. Menurutnya, kalaupun tetap memaksa ingin punya jabatan di Golkar, Novanto paling mentok menjadi anggota dewan pembina.
"Prestasi saat jadi Ketua DPR itu kurang. Di bawah dia, produktivitas DPR juga jeblok. Hemat saya, citra Golkar akan turun kalau dia ketua umum. Mending kalaupun masuk pengurus partai, cukup di dewan pembina. Itupun hanya anggota, tak boleh Ketua," terang Asep.