Hasil akhir deretan pasal yang jadi sorotan dalam UU Antiterorisme
Sederet pasal yang sempat menjadi perdebatan dan ditolak aktivis HAM telah diakomodir oleh DPR dan pemerintah. DPR dan pemerintah telah membahas secara komprehensif, bahkan tak cuma soal penindakan, tapi juga penanggulangan dan pemulihan diatur dalam UU yang baru ini.
Setelah berjalan dua tahun sejak teror bom di Jalan Thamrin, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, Jumat, 25 Mei 2018.
Sederet pasal yang sempat menjadi perdebatan dan ditolak aktivis HAM telah diakomodir oleh DPR dan pemerintah. DPR dan pemerintah telah membahas secara komprehensif, bahkan tak cuma soal penindakan, tapi juga penanggulangan dan pemulihan diatur dalam UU yang baru ini.
-
Apa yang diputuskan oleh Pimpinan DPR terkait revisi UU MD3? "Setelah saya cek barusan pada Ketua Baleg bahwa itu karena existing saja. Sehingga bisa dilakukan mayoritas kita sepakat partai di parlemen untuk tidak melakukan revisi UU MD3 sampai dengan akhir periode jabatan anggota DPR saat ini," kata Dasco, saat diwawancarai di Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/4).
-
Bagaimana cara mencegah tindakan terorisme? Cara mencegah terorisme yang pertama adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang ilmu yang baik dan benar ini harus ditekankan kepada siapa saja, terutama generasi muda.
-
Bagaimana peran Ditjen Polpum Kemendagri dalam menangani radikalisme dan terorisme? Ketua Tim Kerjasama Intelijen Timotius dalam laporannya mengatakan, Ditjen Polpum terus berperan aktif mendukung upaya penanganan radikalisme dan terorisme. Hal ini dilakukan sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
-
Dimana serangan teroris terjadi? Serangan tersebut terjadi di gedung teater Crocus City Hall yang berlokasi di Krasnogorsk, sebuah kota yang terletak di barat ibu kota Rusia, Moskow.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dibahas? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Kenapa Ditjen Polpum Kemendagri menggelar FGD tentang penanganan radikalisme dan terorisme? Direktorat Jenderal (Ditjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Fasilitasi Penanganan Radikalisme dan Terorisme di Aula Cendrawasih, Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (23/8).
Berikut pasal-pasal yang menjadi sorotan di UU Antiterorisme yang baru disahkan ini:
Pasal 1 angka 1
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Awalnya, pasal ini hanya berbunyi, tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini'.
Pasal 43B ayat (1) dan (2)
(1) Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
(2) Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 12B ayat (1)
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 12B ayat (4)
Warga negara yang telah dijatuhi hukuman pidana terorisme dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.
Pasal 16A
Setiap orang yang melakukan Tindakan Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal tersebut merupakan tambahan pasal baru yang disisipkan di antara pasal 16 dan pasal 17.
Pasal 25 ayat (2)
Penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 120 hari.
Pasal 25 ayat (3)
Penyidik bisa mengajukan perpanjangan ke penuntut umum untuk jangka waktu 60 hari.
Pasal 25 ayat (4)
Penyidik juga bisa kembali mengajukan perpanjangan penahanan kepada ketua pengadilan negeri setempat selama 20 hari.
Pasal 25 ayat (7)
Pelaksanaan penahanan tersangka Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.
Pasal 25 ayat (8)
Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28 ayat (3)
Terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam, dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia.
Pasal 28 ayat (4)
Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam UU ini, DPR dan pemerintah juga telah membuat 5 BAB baru tentang pencegahan, korban, kelembagaan, pengawasan dan peran TNI.
Selain bab baru, revisi UU ini juga memuat penambahan banyak substansi untuk menguatkan pengaturan yang telah ada. Yakni:
A. Kriminalisasi baru terhadap berbagai rumus baru tindak pidana terorisme seperti jenis bahan peledak, mengikuti pelatihan militer atau paramiliter atau latihan lain baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.
B. Pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana terorisme baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme.
C. Perluasan sanksi pidana terhadap korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang-orang yang mengarahkan kegiatan korporasi.
D. Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu.
E. Keputusan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum serta penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme oleh penuntut umum.
F. Perlindungan korban tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab negara.
G. Pencegahan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait seusai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan BNPT.
H. Kelembagaan BNPT dan pengawasannya serta peran TNI.
Selain itu, terdapat rumusan fundamental yang strategis dari hasil masukan berbagai anggota Pansus bersama Panja pemerintah:
A. Adanya definisi terorisme agar lingkup kejahatan terorisme dapat diidentifikasi secara jelas sehingga tindak pidana terorisme tidak diidentikkan dengan hal-hal sensitif berupa sentimen terhadap kelompok atau golongan tertentu tapi pada aspek perbuatan kejahatannya.
B. Menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan sesuai universal declaration of human right 1948 adalah hak bagi setiap orang atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya.
C. Menghapus pasal yang dikenal oleh masyarakat sebagai pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang sebagai terduga terorisme di tempat atau lokasi tertentu yang tidak dapat diketahui oleh publik.
D. Menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU 15/2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja. Kini dalam UU Tindak Pidana Terorisme yang baru telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban yang meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi.
E. Mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU Tindak Pidana Terorisme ini disahkan. Artinya bagi para korban sejak bom Bali pertama sampai Bom Thamrin.
F. Menambahkan ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri dari kesiapsiagaan nasional kontraradikalisasi dan deradikalisasi.
G. Memasukkan ketentuan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab negara.
H. Melakukan penguatan kelembagaan terhadap BNPT dengan memasukkan tugas, fungsi, dan kewenagan BNPT.
I. Menambah ketentuan mengenai pengawasan.
J. Menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan presiden dalam jangka waktu pembentukannya maksimal 1 tahun setelah UU ini disahkan.
K. Mengubah ketentuan kejahatan politik dalam pasal 5, di mana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat diekstradisi. Hal ini sesuai ketenuan UU 5/2006 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris.
L. Menambah pasal yang memberikan sanksi terhadap aparat negara yang melakukan abuse of power.
Catatan aktivis HAM
Meski telah dibahas dengan komprehensif, namun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memberikan sederet catatan. UU ini harus dijalankan secara hati-hati dengan memastikan bahwa penanganan terorisme tetap berada dalam koridor penegakan hukum (criminal justice system) dan menghormati hak asasi manusia.
Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menjelaskan, pelibatan TNI baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya. Lebih dari itu, pengerahan dan penggunaan Koopsusgab saat ini belum dibutuhkan mengingat dinamika ancaman terorisme di Indonesia sesungguhnya masih dapat ditangani oleh institusi penegak hukum.
"Koalisi mendorong dengan disahkannya revisi UU Antiterorisme ini dapat memperkuat aspek pencegahan aksi terorisme, seperti penguatan peran BNPT dalam mengkoordinasikan kebijakan penanganan terorisme antar lembaga-lembaga terkait contohnya Kepolisian, TNI, BIN, Imigrasi, dan lainnya," kata Julius kepada merdeka.com, Jumat (25/5).
Dia mengapresiasi perubahan sejumlah pasal yang sempat menuai penolakan tersebut. Misalnya, masa penangkapan yang disetujui menjadi 14 hari dan dapat diperpanjang selama 7 hari dengan persetujuan Ketua Pengadilan, total masa penahanan menjadi 290 hari (Pasal 25).
Selanjutnya, Penghapusan pasal 'Guantanamo' (43A), yakni penyidik dapat menahan terduga pelaku terorisme hingga enam bulan. Pasal pencabutan kewarganegaraan (46A) bagi pelaku teror juga dihapus.
Namun, koalisi menilai, masih terdapat beberapa pasal yang berpotensi bermasalah, yakni soal definisi yang mencantumkan unsur politik.
"Definisi yang menggunakan frasa motif politik berpotensi menyulitkan aparat penegak hukum dalam upaya penegakannya," tegas Julius.
Selain itu, masalah pelibatan TNI dalam UU yang baru disahkan ini masih berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system). Untuk itu, pemerintah perlu hati-hati dan cermat dalam merumuskan tentang pelibatan TNI dalam perpres sebagai aturan pelaksana nantinya.
"Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang akan diatur dalam Perpres harus berdasarkan Keputusan Presiden. TNI tidak boleh dilibatkan tanpa keputusan Presiden dalam mengatasi terorisme," tambah Julius.
Demi tak terjadinya penyalahgunaan aparat, koalisi masyarakat sipil juga mendesak DPR agar segera membentuk tim pengawas dengan melibatkan masyarakat sipil. Karena hal ini sudah diamanatkan dalam UU anti-terorisme untuk menjaga prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (Sunshine Principle) dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (Sunset Principle).
"Sehingga setiap tahun perlu ada evaluasi dari implementasi aturan ini, apakah ada praktik penyimpangan atau tidak dalam pelaksananan kewenangan khusus itu oleh aparat negara yang diawasi oleh Komisi Pengawas DPR untuk menilainya," kata dia.
Baca juga:
Jaksa Agung nilai penanganan terorisme leluasa usai revisi UU Terorisme disahkan
UU Terorisme: Libatkan anak-anak dalam aksi teror, hukuman ditambah
RUU Terorisme diketok, Perpres pelibatan TNI harus segera dikeluarkan
Ini poin penting 5 bab baru dalam UU terorisme
UU Terorisme, WNI ikut latihan atau perang di luar negeri bisa dipenjara 15 tahun
DPR ketok palu sahkan revisi UU terorisme
UU Terorisme disahkan, aparat keamanan diminta bertanggungjawab