Kemelut Demokrat dan penjegalan Prabowo menjadi presiden
Elektabilitas Prabowo dan Gerindra yang terus ciamik ternyata membuat Demokrat gerah.
Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 sudah di depan mata. Partai politik dan sejumlah tokoh yang berambisi mencalonkan diri menjadi presiden mulai melancarkan manuver dan strateginya agar dilirik rakyat.
Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat sukses memenangkan Pemilu dengan perolehan suara hampir 21 persen. Saat itu, Demokrat juga sukses memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Kemenangan di Pemilu dan Pilpres 2009 tentu memicu Partai Demokrat untuk menargetkan kemenangan kembali di 2014. Namun, ambisi tersebut sepertinya tak semudah dengan yang dibayangkan.
Dalam dua tahun belakangan, partai berlambang Mercy itu mengalami penurunan elektabilitas yang cukup tajam. Salah satu pemicunya adalah sejumlah kasus korupsi yang dialami elite partai berlambang Mercy itu.
Ditetapkannya mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dan mantan Wasekjen Angelina Sondakh menjadi tersangka kasus korupsi oleh KPK menjadi pukulan telak bagi partai besutan SBY. Apalagi Nazaruddin terus menerus 'berkicau' soal dugaan keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat kala itu Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang.
'Kicauan' Nazaruddin yang berbunyi merdu tentu menjadi bahan pemberitaan yang menarik bagi media. Media pun ramai-ramai dan terus-menerus memberitakan kasus Nazar, Angie dan dugaan keterlibatan Anas dalam kasus korupsi.
Akibatnya, elektabilitas Partai Demokrat di sejumlah hasil survei menurun. Perpecahan yang terjadi di internal Demokrat antara kader yang mendukung dan ingin melengserkan Anas semakin memperparah kondisi partai yang berakibat pada anjloknya elektabilitas Demokrat ke titik nadir yakni 8,3 persen (hasil survei SMRC Januari 2013).
Hal itu kemudian memicu desakan mundur kepada Anas dari kursi ketua umum. 'Perang' antara Anas dan kubu Cikeas pun terjadi. Anas tetap berkukuh tak mau mundur. Namun, Anas akhirnya mundur setelah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada Jumat (22/2) lalu.
Namun mundurnya Anas belum tentu bisa mengembalikan elektabilitas Demokrat. Kondisi itu tentu menuai kegelisahan di kalangan elite Demokrat. Apalagi Pemilu dan Pilpres tinggal satu tahun lagi dilaksanakan.
Sementara, Demokrat tak memiliki figur yang cukup untuk dapat mendongkel perolehan suara partai dan untuk dicalonkan di Pilpres mendatang. Berdasarkan hasil survei berbagai lembaga survei, sosok Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto merupakan sosok yang cukup berpeluang terpilih menjadi presiden di Pilpres 2014.
Dalam hasil survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) yang dilakukan pada 9-15 Februari 2013, elektabilitas Prabowo berada di posisi kedua setelah Jokowi dengan 10,9 persen. Sementara, elektabilitas Partai Gerindra naik tajam di posisi ketiga dengan 10,3 persen.
Hal itu tentu semakin memantapkan Partai Gerindra untuk mengusung Prabowo di Pilpres mendatang. Namun, elektabilitas Prabowo dan Gerindra yang terus ciamik ternyata membuat Demokrat gerah.
Sekretaris Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik mengakui partainya akan menghalangi Prabowo terpilih menjadi presiden di Pilpres 2014. Karenanya, dia meminta Anas untuk legowo dan tidak terus membuat konflik dengan Demokrat. Sebab, hal itu akan semakin membuat partai besutan SBY itu terperosok ke lembah kehancuran.
"Tugas kami adalah mencegah Prabowo jadi presiden. Kalau tidak cukup kuat, maka Demokrat tidak akan mampu," ujar Rachland dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (27/2).
Menanggapi pernyataan itu, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku tidak tahu mengapa Demokrat berupaya menghalangi Prabowo menjadi presiden. Gerindra tak mau ambil pusing atas rencana Demokrat tersebut.
"Partai Gerindra juga tidak tahu kenapa Partai Demokrat mencoba mencegah pencalonan Pak Prabowo menjadi Capres," kata Ahmad Muzani saat dihubungi merdeka.com.
Dia mengkritik Demokrat agar tak melampiaskan persoalan internalnya ke partai lain. Sementara, anggota Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Martin Hutabarat menyatakan, melejitnya elektabilitas Prabowo sebagai capres di sejumlah survei, memang berdasarkan keinginan rakyat yang merindukan presiden yang tegas dan berani, tidak ragu-ragu mengambil keputusan.
"Elektabilitas Prabowo yang tinggi belakangan ini tidak perlu dianggap sebagai ancaman oleh tokoh atau partai lain," ujarnya.
Pernyataan Rachland Nashidik setidaknya telah menggambarkan kegelisahan Demokrat di 2014. Lantas upaya apa yang akan ditempuh Demokrat untuk menjegal Prabowo?