Ridwan Kamil mundur, siapa lawan kuat penantang Ahok?
Kang Emil akhirnya memilih tidak maju di Pilgub DKI demi menuntaskan janjinya hingga 2018.
Salah satu kandidat yang bakal menjadi pesaing kuat Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2017, Ridwan Kamil akhirnya menyatakan sikap. Dia memilih menuntaskan jabatannya sebagai wali kota Bandung hingga akhir masa jabatan pada 2018. Ridwan menyatakan masih punya utang untuk melunasi janji-janjinya saat kampanye lalu.
"Mohon maaf, walau kesempatan itu ada, saya memutuskan untuk tidak maju ke pemilihan Gubernur DKI 2017," kata Ridwan Kamil di Bandung, Senin (29/1).
Setelah menyatakan sikapnya itu, Emil, sapaan akrabnya tidak ingin lagi membahas Pilkada DKI, karena ingin fokus mengurusi Bandung sampai tahun 2018.
"Saya enggak mau bahas lagi (Pilkada DKI Jakarta), saya mau fokus urus Bandung," kata Emil.
Dia mempersilakan semua kandidat untuk bersaing pada Pilkada DKI Jakarta tahun depan dengan sehat. Untuk diketahui beberapa nama pada gelaran Pilkada DKI sudah mencuat seperti petahana Basuki Tjahaja Purnama, Yusril Ihza Mahendra, Adhyaksa Dault dan Sandiaga Uno.
"Silakan Pilkada DKI Jakarta, lanjutkan tanpa saya. Saya doakan, bisa pilih yang cocok untuk kapasitas penyelesaian di Jakarta," ungkapnya.
Lalu bagaimana tanggapan Ahok, atas keputusan itu. Ahok mengaku sebagai teman yang baik memahami alasan Emil untuk tidak maju menjadi cagub dan memilih fokus pada Bandung.
"Ya saya pikir saya bisa ngerti ya, kenapa Pak Ridwan Kamil buat fokuskan di Bandung. Nah kita, ya memang banyak pertimbangan juga. Kan kita temen baik sama dia. Dia juga enggak pengen salah satu hilang. Kita kan mesti sama-sama sebagai temen untuk berjuang bersama untuk Indonesia lah," kata Ahok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (29/2).
Ahok menilai, keputusan yang diambil Kang Emil dapat menjadi contoh bagi kepala-kepala daerah lain untuk pembelajaran. Pelajaran yang dimaksud adalah melanjutkan kembali janji, visi misi serta program untuk membangun kota yang dipimpinnya.
"Saya kira itu keputusan yang beliau ambil, dia pengen fokus di Jabar, Bandung khususnya. Kita jadi kota bisa saling belajar. Kota-kota penting kan, tentu Jakarta, Surabaya, Semarang, ada Bandung. Nah tentu kita harapkan kota-kota ini bisa saling belajar," tegasnya.
Keputusan Ridwan Kamil menolak maju di Pilgub DKI tentu saja menjadi keuntungan bagi Ahok. Berdasarkan beberapa hasil survei, nama Ridwan Kamil selalu berada di tiga besar bersama wali kota Surabaya Tri Rismaharini. Dengan mundurnya Ridwan Kamil, salah satu pesaing kuat Ahok telah hilang.
Lantas bagaimana konstelasi Pilgub DKI dengan calon yang tersisa? Peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS) Mohammad Hailuki menjelaskan, peta dukungan akan menjadi terpolarisasi secara tajam. Maksudnya, peta kekuatan kontestasi pilgub DKI akan terbelah hanya menjadi dua kekuatan utama yaitu Pro-Ahok dan Anti-Ahok.
"Dengan tidak adanya Ridwan Kamil, maka sosok yang tersedia hanya Ahok dan Non-Ahok. Karena sosok Ridwan Kamil diprediksi akan memecah kekuatan dan mencegah polarisasi tajam. Ridwan Kamil dianggap bisa mewakili beberapa golongan sekaligus yaitu nasionalis, santri modernis dan kaum urban," ujarnya.
Menurut Luki, karena Ahok mewakili kelompok nasionalis maka kekuatan partai nasionalis akan cenderung merapat seperi PDIP, Hanura dan Nasdem. Kompetitor Ahok akan memposisikan diri sebagai representasi kelompok santri modernis. Partai-partai berbasis santri (PAN & PKS) akan melakukan konsolidasi untuk berkoalisi dengan partai nasional religius seperti Demokrat dan Gerindra.
Khusus untuk PKB yang memiliki kekhasan Islam Tradisional berpeluang merapat mendukung Ahok. Sedangkan Golkar dan PPP masih dirundung persoalan internal. Namun PPP tetap menjadi pemain penting karena figur Djan Faridz sebagai 'pemilik' Tanah Abang.
"Akibatnya, sangat mungkin Pilgub DKI 2017 hanya diikuti oleh dua pasang calon kandidat antara nasionalis melawan santri modernis. Dengan demikian, faktor absennya Ridwan Kamil membuat konstelasi menjadi tidak dinamis. Jakarta Timur sebagai wilayah dengan penduduk terbanyak di Ibukota akan jadi wilayah pertarungan yang keras dan ketat," paparnya.
Luki mengingatkan, meski survei Ahok menunjukkan elektabilitas tinggi, tapi jika tidak hati-hati keadaan bisa berbalik. Jika bertarung head to head, maka posisi Ahok tergantung citra penantangnya. Jika penantang Ahok adalah sosok protagonis maka Ahok akan menjadi antagonis, kondisi ini akan mempengaruhi persepsi pemilih terhadap Ahok.
"Dan sebaliknya, jika penantang Ahok adalah sosok antagonis maka Ahok berada di posisi protagonis, dengan kondisi ini diprediksi Ahok akan memenangkan pertarungan. Artinya, Ahok dirugikan apabila hanya ada satu kompetitor atau head to head," ujarnya.
"Maka menarik untuk dinanti sosok seperti apa yang akan diusung oleh kekuatan parpol berbasis santri modernis dan nasionalis religius. Apapun itu kita harapkan Pilgub DKI dapat berlangsung secara jujur, bersih, aman dan damai," pungkasnya.