4 Kondisi ironi sektor pangan RI, target Swasembada Jokowi belum tercapai
Meski diragukan, Presiden Joko Widodo tetap merasa yakin pemerintahannya bisa mewujudkan swasembada pangan. Jokowi mengaku, selama melakukan kunjungan ke sejumlah daerah di Indonesia, dia semakin mengenali karakteristik daerah yang bisa mendukung target swasembada pangan.
Swasembada pangan adalah salah satu target Presiden Jokowi dalam lima tahun pemerintahannya. Di 2015 silam, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan Indonesia swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan atau tepatnya 2018 ini. Ada yang menyebut target tersebut terlalu ambisius mengingat pemerintah sebelumnya selalu gagal mewujudkan swasembada pangan.
Meski diragukan, Presiden Joko Widodo tetap merasa yakin pemerintahannya bisa mewujudkan swasembada pangan. Jokowi mengaku, selama melakukan kunjungan ke sejumlah daerah di Indonesia, dia semakin mengenali karakteristik daerah yang bisa mendukung target swasembada pangan.
-
Bagaimana Kementan mewujudkan swasembada pangan? Upaya tersebut salah satunya akan diwujudkan melalui program food estate maupun solusi cepat yang dijalankan Kementan berupa pompanisasi dan optimalisasi lahan.
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Apa yang terjadi di Bukber Kabinet Jokowi? Bukber Kabinet Jokowi Tak Dihadiri Semua Menteri 01 & 03, Sri Mulyani: Sangat Terbatas
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
-
Apa yang Jokowi lakukan di Gudang Beras Bulog Pematang Kandis? Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau langsung Gudang Beras Bulog di Pematang Kandis,Kabupaten Merangin, Jambi. Kepala Negara mengaku, hal itu harus dilakukan demi memastikan ketersediaan beras jelang momentum hari raya Lebaran yang sisa sepekan lagi.
-
Di mana Kementan mendukung petani untuk mewujudkan swasembada? Mentan mengatakan, Kabupaten Konawe adalah satu di antata sekian banyak daerah yang harus didorong untuk menjadi daerah penghasil pangan nasional. Dia mengatakan Konawe memiliki lahan yang subur dan air yang cukup. "Konawe harus jadi penghasil pangan terbesar di Indonesia. Mengapa demikian, sebab konawe adalah penopang pangan Sulawesi Tenggara dan bisa memenuhi kebutuhan kita karena memberi suplay ke provinsi lain yang membutuhkan," katanya.
"Semakin saya yakin yang namanya swasembada pangan, kedaulatan pangan akan kita capai dalam kurun waktu yang tidak lama. Perkiraan 4-5 tahun bisa kita pegang," tegas Jokowi saat membuka Jakarta Food Security, pekan lalu.
Presiden Jokowi mengaku tak segan-segan memecat Menteri Pertanian Amran Sulaiman jika gagal mencapai target swasembada pangan. Beragam cara ditempuh untuk merealisasikan target tersebut.
Termasuk menggalang kerja sama dan melibatkan TNI. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo bersepakat untuk meningkatkan swasembada pangan pada tahun 2015. Oleh sebab itu, Amran dan Gatot menandatangani kesepakatan kerja sama dalam bidang swasembada pangan.
Babinsa kini punya pekerjaan baru, terjun ke sawah jadi penyuluh pertanian. Seperti yang sudah diterapkan di Kabupaten Tangerang. Sebanyak 1.000 personel Babinsa akan menggarap 1.500 hektar lahan demi tercapainya ketahanan pangan.
Cara lain, membangun kawasan produksi pangan atau di era Presiden SBY dikenal dengan istilah food estate. Kalimantan dipilih sebagai lumbung pangan Indonesia. Pembangunan besar-besaran akan dilakukan mulai 2016. Secara keseluruhan, luas food estate di Kalimantan nantinya akan mencapai 500.000 hektar. Berbagai macam bahan pangan akan ditanam mulai dari jagung, kedelai serta peternakan sapi.
Namun demikian, makin lama kondisi pangan Indonesia makin mengenaskan. Mayoritas kebutuhan bahkan dipenuhi dari impor. Impor pangan ini juga bahkan telah membuat nilai tukar Rupiah loyo. Berikut ulasannya seperti dirangkum merdeka.com
Kebutuan pangan dipenuhi impor
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti masalah tingginya impor pangan di Indonesia. Padahal sejatinya Indonesia dikenal dengan julukan negara agraris atau negara pertanian. Namun, berbagai kebutuhan pangan masyarakat masih perlu didatangkan dari luar negeri atau impor.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, ketergantungan impor kian bergeser ke pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Tidak hanya sekadar lonjakan impor gandum yang notabene memang tidak mampu diproduksi di iklim tropis. Namun mulai dari impor gula, kedelai, bawang putih, daging, beras dan yang lain mengalami peningkatan.
"Bahkan, bahan baku industri makanan pun lebih dari 60 persen harus dipenuhi dari impor. Sekalipun sampai akhir 2017 neraca perdagangan sektor pertanian masih mencatat surplus, namun hanya karena berkah sektor perkebunan yang surplus mencapai USD 26,7 miliar," kata Enny di kantornya, Rabu (18/4).
Sementara itu, neraca perdagangan tanaman pangan defisit USD 6,23 miliar, hortikultura defisit USD 1,79 miliar dan peternakan defisit USD 2,74 miliar.
"Artinya, sektor pangan bukannya semakin menuju pada kemandirian, justru semakin menyandarkan kecukupan pasokan pangan dari impor. Upaya menjaga stabilitas harga pangan lebih didominasi kebijakan importasi, dibanding implementasi strategi pembangunan pertanian menuju bangsa mandiri pangan."
Jika kebijakan impor pangan ini tak bisa diminimalkan, maka cita-cita kemandirian pangan akan sulit direalisasikan.
Dalam kesempatan serupa, salah satu peneliti Indef, Ahmad Heri mengatakan bahwa sektor pertanian dengan impornya yang tinggi sangat menguras kantong devisa negara.
"Sektor pertanian ini benar-benar membuang devisa negara. Kontribusi ekspor kecil malah kontribusi impornya semakin besar," ujarnya.
Dalam 10 tahun terakhir rata-rata ekspor sektor pertanian tidak lebih dari 8 persen. Sementara impor terutama sayuran dan buah-buahan pertumbuhannya sangat masif terutama dalam 3 tahun terakhir ini.
"Kita keluar (ekspor pertanian) susah tapi begitu mudahnya masuk ke dalam (impor). Kita cuma unggul di produk kelapa sawit, yang lain semua rata-rata di bawah."
Kalah dari Thailand
Institute for Developement of Economic (Indef) menilai sektor pertanian Indonesia sudah jauh tertinggal dari negara tetangga, seperti Thailand. Padahal, luas lahan di Thailand jauh lebih sempit dibanding Indonesia.
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto mengatakan, dengan lahan yang sedikit, Thailand mampu menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia.
"Pasar beras Thailand 22 persen di dunia," kata Eko di kantornya, Rabu (18/4).
Negara Gajah Putih tersebut berada satu peringkat di bawah Vietnam. Berdasarkan data World Stock Export, dari 15 negara eksportir pangan, Thailand berada diperingkat ke-2 di bawah Vietnam.
Eko menjelaskan, ekspor Thailand sangat tinggi sebab produksinya banyak dan penduduknya sedikit. Mereka juga mampu mengelola stabilitas pangan di dalam negeri.
"Ekspor dia terhadap GDP lebih tinggi, penerimaan dia dari jualan ke luar negeri sisi total relatif secara stabil. Kita kalah bukan hanya main bola tapi juga pangan. Padahal penduduk di sana 68 juta, kita 250 juta jiwa," ujarnya.
Selain itu, pemerintah Thailand juga dikenal memiliki komitmen yang tinggi dalam mengembangkan sektor pertaniannya. Oleh sebab itu mereka mampu merajai pasar beras di dunia.
Eko mengungkapkan, sebetulnya Indonesia juga sudah mampu melakukan ekspor beras. Namun jumlahnya sangat sedikit dan masih melakukan impor.
"Indonesia masuk 10 besar konsumen importir beras di dunia. Ini gambaran bahwa sektor pertanian kita belum terurus dengan benar, sehingga relatif dari pemerintahan yang manapun sektor pertanian tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh."
Impor pangan buat Rupiah loyo
Institute for Development of Economic (Indef) mengingatkan bahwa kemandirian pangan sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto mengatakan, sudah banyak bukti bahwa negara yang bersungguh-sungguh membangun kemandirian pangan lebih mampu mengendalikan inflasi dan stabilitas mata uang.
"Terus membesarnya impor pangan akan berakibat pada rentannya stabilitas perekonomian, khususnya inflasi dan nilai tukar," kata Eko di kantornya, Rabu (18/4).
Lebih parah lagi, jika ketergantungan impor pangan tidak segera disudahi maka akselerasi pertumbuhan ekonomi kian sulit terealisasi.
Dalam pandangan Eko, menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan inflasi tidak hanya cukup dengan mengotak-atik suku bunga. Namun harus juga menjaga stabilitas pangan dengan cara mengurangi impor.
Sebab, saat ini ekspor Indonesia masih rendah. Sementara impornya masih tinggi sehingga pendapatan yang minim dari ekspor langsung habis terpakai untuk impor. Tingginya impor bisa mengakibatkan Rupiah terdepresiasi sebab pembayarannya harus menggunakan valas yang tentu akan berpengaruh pada nilai tukar Rupiah.
"Hasil devisa sebagian harus keluar lagi untuk membeli pangan. Ekspor rendah, sudah susah-susah ekspor harus keluar lagi buat beli beras. Beli beras gak bisa pakai Rupiah. Akhir tahun akan semakin kelihatan impact nilai rupiah."
Salah satu peneliti Indef, Ahmad Heri mengatakan bahwa sektor pertanian dengan impornya yang tinggi sangat menguras kantong devisa negara. "Sektor pertanian ini benar-benar membuang devisa negara. Kontribusi ekspor kecil malah kontribusi impornya semakin besar," ujarnya.
Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ekspor sektor pertanian tidak lebih dari 8 persen. Sementara impor terutama sayuran dan buah-buahan pertumbuhannya sangat masif terutama dalam 3 tahun terakhir ini.
"Kita keluar (ekspor pertanian) susah tapi begitu mudahnya masuk ke dalam (impor). Kita cuma unggul di produk kelapa sawit, yang lain semua rata-rata di bawah."
Harga pangan tinggi meski inflasi rendah
Wakil Direktur Institute for Development of Economic (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan paradoks harga pangan dan inflasi terjadi saat ini, di mana inflasi umum berada dalam kategori rendah, namun harga pangan tidak dapat dikatakan murah. Hal ini yang menyebabkan daya beli rendah.
"Inflasi Indonesia rendah, tetapi menjadi yang paling tinggi dibanding negara-negara ASEAN. Thailand itu rendah sekali inflasinya. Poinnya adalah negara eksportir pangan wajar kalau inflasi lebih stabil," kata Eko, di kantornya, Rabu (18/4).
Jika dirunut dalam beberapa tahun terakhir, inflasi umum (headline) memang cenderung turun, namun inflasi yang bersumber dari barang bergejolak masih cukup tinggi. Akibatnya daya beli masyarakat menjadi rendah. "Inflasi kita boleh dibilang rendah. Tapi Volatile food masih sekitar 6 persen. Artinya volatile food masih dua kali dibanding headline nya," ujarnya.
Dia menjelaskan, stabilitas inflasi dan nilai tukar mata uang suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor apakah negara tersebut mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri atau impor. Eko mengingatkan, jangan sampai pemerintah berlarut dalam euforia angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun impornya juga masih sangat tinggi.
Menurutnya, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi tidak hanya cukup dengan mengotak-atik suku bunga, namun harus juga menjaga stabilitas pangan dengan cara mengurangi impor. Dengan terus membesarnya impor pangan akan berakibat pada rentannya stabilitas perekonomian, khususnya inflasi dan nilai tukar.
Lebih parah lagi, jika ketergantungan impor pangan tidak segera disudahi maka akselerasi pertumbuhan ekonomi kian sulit terealisasi.
"Kalau terus-terus dibanggakan GDP kita paling besar di ASEAN, tapi urusan impor tidak bisa diselesaikan itu sama saja. Toh ketika indikator dibedah ke level-level lebih mikro itu semakin terurai. Sehingga pesannya adalah upaya untuk bangun kedaulatan pangan sangat urgent untuk dilakukan ke depan."