Foxconn harus gaet insinyur lokal jika investasi di Indonesia
Foxconn saat ini memang belum juga merealisasikan pembangunan pabrik di Indonesia.
Menteri Perindustrian, MS Hidayat meminta Foxconn untuk menyerap tenaga ahli atau insinyur nasional jika ingin membangun pabrik di Indonesia. Pabrik penyuplai komponen telepon genggam asal Taiwan tersebut hingga kini memang belum merealisasikan janji investasinya di Indonesia.
"Mereka memang kalau mau masuk itu merekrut insinyur teknik ratusan. Cuma persyaratan mereka itu berat diikuti," ujarnya saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat (24/1).
Menurut Hidayat, selama melakukan pembicaraan dengan Foxconn, pabrik tersebut saat ini juga akan membangun 10 sekolah pelatihan pekerja pabrik di China. Sekolah ini nantinya akan menjadi pusat pelatihan para pekerja Indonesia sebelum memulai bekerja.
"Pastinya ada training, tapi belum sejauh itu, perundingan awal, kalau jadi ke sini akan merekrut insinyur di Indonesia," katanya.
Sebelumnya, Foxconn tak juga membangun pabrik di Indonesia. Banyak pihak bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal komitmen investasi sebesar USD 5-10 miliar untuk jangka waktu hingga 10 tahun ke depan sudah disampaikan kepada pemerintah.
Menelisik hal itu, Ketua Bidang Industri Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Rudi Rusdiah menduga ada tiga hal yang menyebabkan Foxconn masih belum juga membangun manufakturnya.
Pertama adalah tingginya pajak impor komponen ponsel, sedangkan impor ponsel jadi malah dikenai BM 0 persen. Padahal, industry kalau tanpa melibatkan komponen impor sangat tidak feasible karena di Indonesia tidak tersedia pabrik komponen, ungkapnya kepada merdeka.com, Selasa (14/1).
Menurut dia, faktor kedua yang menyebabkan investasi Foxconn terhambat adalah masalah infrastruktur.
Infrastruktur di Indonesia tidak menunjang. Coba bandingkan pulau Penang Malaysia dengan infrastruktur pelabuhan kontainer, jalan tol yang tidak banjir dan tidak rusak, listrik tidak byar pet, telekomunikasi dan sebagainya yang sangat terjamin untuk investasi pembangunan pabrik, tuturnya.
Masalah ketiga diduga adalah perburuhan yang sering demo sehingga bila pasokan ponsel tidak lancer bisa menjadi masalah besar.
"Lainnya juga seperti tidak ada kepastian hukum. Kebijakan seperti PPH impor berubah bukan memfasilitasi atau meningkatkan industri dalam negeri, tapi malah memberatkan semua pelaku baik industri maupun perdagangan. Akhirnya efek sampingnya adalah maraknya penyelundupan," katanya.