Garuda Indonesia tertarik kelola bandara UPT Kemenhub
Perseroan memastikan akan mengambil pengelolaan bandara yang memiliki potensi wisata tinggi di wilayahnya.
PT Garuda Indonesia Tbk (GGIA) tertarik mengelola bandara milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Perhubungan. Namun, pihak maskapai pelat merah tersebut enggan menyebutkan bandara mana yang akan diambil alih.
"Kita lihat potensi dari bandara, kita sudah minat," ujar Dirut GGIA, Emirsyah Satar, saat ditemui di Jakarta, Rabu (26/3).
Perseroan memastikan akan mengambil pengelolaan bandara yang memiliki potensi wisata tinggi di wilayahnya. "Bagus, karena kita bisa terbang ke sana. Tapi yang memiliki potensi wisata bagus. Ini untuk menunjang pariwisata," jelasnya.
Perseroan juga telah menyiapkan pesawat ATR 72-60 untuk beroperasi di bandara-bandara daerah kecil tersebut. Untuk diketahui, Kementerian Perhubungan telah mengobral 10 Bandara UPT yakni Bandara Sentani (Jayapura), Bandara Mutiara (Palu), Bandara Juwata (Tarakan), Bandara Matahora (Wakatobi), Bandara Sultan Babullah (Ternate), Bandara Tjilik Riwut (Palangkaraya), Bandara Komodo (Labuan Bajo), Bandara Hanandjoedin (Tanjung Pandan), Bandara Fatmawati (Bengkulu), Bandara Radin Inten II (Lampung).
10 bandara tersebut ditawarkan pengelolaannya ke swasta karena pemerintah kekurangan anggaran. Menteri Perhubungan, EE Mangindaan, mengakui penawaran pengelolaan 10 Bandara UPT kepada swasta masih belum laku hingga saat ini. Dari penawaran ini, hanya Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II yang berminat untuk mengelola bandara UPT tersebut.
"Masih dalam proses. Sudah ada yang berminat tetapi kita mesti seleksi betul-betul, kemampuannya harus punya ini, punya ini, itu persyaratan cukup banyak, tapi tidak sulit. Angkasa pura satu dan dua jelas, BUMN sih mereka," ujar Mangindaan di Kementerian BUMN, Jakarta.
Untuk operator swasta selain BUMN, Mangindaan mengungkapkan belum ada yang berminat mengelola 10 bandara UPT tersebut. Namun, dalam hal ini operator swasta tetap diperlukan karena Angkasa Pura diyakini tidak dapat mengendalikan semua pengelolaan bandara.
"Ada yang harus BUMN, ada yang swasta. Artinya kalau BUMN kan enggak bisa mengendalikan semuanya. Kan dia operator sekaligus membangun prasarana udara, jadi kalau memang mereka mampu dari operator yang itu silakan. Tapi menurut saya tidak semua bisa," jelasnya.
Mangindaan mengaku operator asing banyak yang berminat untuk mengelola 10 bandara UPT. Tetapi Kemenhub menegaskan pengelola swasta asing harus menerapkan sesuai standar operator BUMN.
"Swasta ada yang mau masuk, tapi persyaratannya harus sama dilakukan oleh BUMN. Kalau asing tidak boleh langsung, harus domestik dahulu, karena DNI itu apa ya jangan sampai menguasai lebih dari 50 persen," terangnya.