Kota besar Indonesia jadi lahan 'bermain' para mafia tanah
"Di Indonesia adanya tata uang bukan tata ruang," kata Ketua Harian YLKI Tulus Abadi.
Kemiskinan di kota besar seperti DKI Jakarta membuat masyarakatnya sulit untuk membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Kondisi ini membuat banyak pengembang memanfaatkan kesulitan itu untuk membeli aset penduduk miskin demi membangun proyeknya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan, masalah tersebut makin menegaskan bahwa pemerintah belum mementingkan masalah tata ruang melainkan 'tata uang'. Belum ada perlindungan bagi para penduduk miskin kota.
"Di Indonesia adanya tata uang bukan tata ruang," kata Tulus dalam diskusi 'Senator Kita' yang diselenggarakan merdeka.com, RRI, IJTI, dan DPD RI di Jakarta, Minggu (9/8).
Terdesaknya masyarakat miskin, dengan harga pajak yang tinggi, membuat pihak pengembang berani membelinya. "Mau tidak mau kan pergi atau jadi rakyat miskin kota," ujarnya.
Pakar Tata Ruang Yayat Supriatna melihat, dengan adanya masalah ini justru menunjukkan adanya praktik mafia tanah. Sehingga harga yang dijual hanya mampu dibeli para pengembang properti.
"Sepanjang politik nggak berpihak masyarakat, ada persoalan. Mafia tanah, ketika satu lokasi dibangun apartemen, juga tingginya pajak tanah. Masyarakat menjual tak bisa, harus jual kepada pengembang," tegas Yayat.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Abdul Aziz Khafia menambahkan, pada wilayah pemilihannya di Kebayoran, Jakarta, pernah terjadi kasus unik. Tanah lebih kurang 100 hektar yang padat penduduk mendadak bermasalah, dengan hadirnya sertifikat atas nama satu orang.
Sontak masalah ini membuat kisruh warga. Pasalnya, selama puluhan tahun, warga di area itu selalu membayar pajak dan mengikuti sistem yang ada. "Ini kan aneh. Mungkin saja ini sengaja diciptakan dengan nama yang mungkin tidak jelas untuk nantinya dibangun sebuah proyek," terang Aziz.