Pemerintah perlu regulasi khusus berangus mafia beras
Saat ini ada perbedaan cukup jauh antara harga beras di hilir dan hulu.
Pengamat Ekonomi Institute For Development Of Economics And Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah memerlukan instrumen regulasi khusus demi memberantas mafia beras. Penentuan harga mengikuti mekanisme pasar membuat beras rentan dipermainkan mafia.
Padahal, lanjutnya, beras merupakan komoditas yang paling berpengaruh pada harga di pasar. Pasalnya, kenaikan sedikit saja pada bahan makan pokok orang Indonesia tersebut dapat menyebabkan lonjakan pada komoditas lainnya.
"Harga beras naik sekisaran Rp 100, Rp 200 atau Rp 300 perak saja ini mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap harga-harga kebutuhan atau komoditi lain," katanya dalam diskusi 'Pangan Kita' yang digelar RRI, Merdeka.com, IJTI, IKN dan DPD di kawasan Jakarta Pusat, Senin (1/6).
Menurutnya, saat ini ada perbedaan cukup jauh antara harga beras di hilir dan hulu. "Disparitas ini sangat luar biasa. Jadi beras di level petani masih kisaran Rp 3.000-Rp 3.200. Belum lagi pedagang beras di pasar induk Cipinang mengklaim bahwa beras yang tipe biasa yang sering dikonsumsi masyarakat masih di kisaran Rp 7.500. Tapi coba kita tanya apa benar masyarakat kita membeli di level konsumen itu sudah Rp 7.500," ujarnya.
Dengan adanya celah tersebut, membuat beberapa oknum yang mengambil keuntungan atau akrab disapa mafia beras ada. "Di situlah terjadi kompetisi. Jadi ada persaingan tidak sehat, karena ketiadaan peran dari pemerintah ketika terjadi persaingan tersebut," ungkap Enny.
Enny menambahkan Bulog bukan solusi untuk memberangus praktik mafia beras. Sebab, sampai saat ini Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya menjadi penampung sisa beras oleh petani.
Direktur Bulog Lely Pelitasar mengatakan, selama Bulog didirikan memang bukan untuk menjaga harga dan stok beras di pasar.
"Artinya khitahnya Bulog itu dibentuk untuk menyerap kelebihan yang ada di pasar, bukan untuk bersaing," tutup Lely.