RI masih disesaki pengemplang pajak, Jokowi perlu jadi teladan
Masyarakat saat ini dinilai ogah membayar pajak karena ketidakpercayaan pada tata kelola pemerintah.
Terungkapnya sejumlah kasus perpajakan membuat masyarakat jengah. Imbasnya ketidakpercayaan masyarakat pada tata kelola pajak membuat mereka ogah menunaikan kewajiban pada negara. Padahal, pemerintah telah menetapkan target penerimaan pajak tinggi tahun ini.
Executive Director Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus memberikan contoh baik kepada masyarakat. Minimal dengan menunjukkan Surat Pemberitahuan (SPT) telah melakukan pembayaran pajak. Dengan begitu, pemimpin dapat menjadi contoh dalam mensukseskan Tahun Pembinaan Wajib Pajak.
"Sekarang Tahun Pembinaan Wajib Pajak, hasil pajak diberi kepercayaan membetulkan SPT, tapi apakah presiden dan wapres, menteri, anggota DPR sudah membetulkan SPT-nya? Kalau mereka belum pasti yang sulit kita rakyat untuk betulin, bercerminlah yang di atas enggak," jelasnya di Hotel Hive, Jakarta, Selasa (22/9).
Menurutnya, praktik kongkalikong pembayaran pajak masih sering dilakukan. Salah satunya untuk menghindari pembayaran pajak penjualan barang mewah (PPnBM) rumah.
"PPnBM selama ini kan hanya kesepakatan antara pengembang dan pembeli. Pengembang kan mengikuti pembelinya. Pembelinya tidak mau bayar PPnBM nya. Misalnya luas bangunan minta di bawah 150 meter, jadi 149,5 meter. Itu dibikin dua kamar, atau dua pintu. Seolah-olah dimiliki dua orang yang berbeda, padahal di dalamnya ada connecting doornya yang nyambung juga bisa. Harga juga bisa," ungkapnya.
Pemerintah menurutnya harus membangun kembali kepercayaan masyarakat akan pajak. Caranya dengan memberi tindakan keras kepada pegawainya dan masyarakat pengemplang pajak yang melakukan pelanggaran.
"Jangan sampai ada pikiran saya itu mau bandel, mau ngemplang mending sekalian yang gede kan tidak diapa-apain. Kalau yang kecil tidak ada backing malah dikerjain," tutup Yustinus.