Saran untuk Jokowi agar program satu juta rumah murah terwujud
Ada lima hal yang harus dilakukan pemerintah bila benar-benar ingin mewujudkan program pembangunan satu juta rumah.
Presiden Joko Widodo dari awal pemerintahannya sudah mencanangkan program satu juta rumah murah. Program ini menyasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum memiliki rumah. Saat ini, program sudah mulai berjalan di beberapa daerah. Rencananya, rumah murah ini akan dibangun hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Indonesia Property Watch memberi saran kepada Presiden Joko Widodo agar program ini bisa terwujud. Setidaknya, ada lima hal yang harus dilakukan pemerintah bila benar-benar ingin mewujudkan program pembangunan satu juta rumah di berbagai daerah.
-
Apa yang membuat rumah masa kecil Presiden Jokowi spesial? Bangunan joglo yang ditempati menjadi spesial karena sejarah yang terukir di sana.
-
Bagaimana kondisi rumah masa kecil Presiden Jokowi saat ini? Rumah itu benar-benar terjaga keasliannya. Tak bisa dipungkiri beberapa bagian kayu sudah tampak keropos dan mengalami sedikit renovasi. Namun hal itu tak menghilangkan kesan klasik dari bangunan tersebut.
-
Mengapa Jokowi meminta Kementerian PU untuk membangun rumah warga? Jokowi memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk segera membangun kembali rumah warga setelah tempat relokasi disiapkan pemerintah daerah.
-
Siapa pemilik asli rumah masa kecil Presiden Jokowi? Rumah sederhana itu milik Wiroredjo dan Sani, yang tak lain merupakan kakek dan nenek Presiden Jokowi.
-
Dimana letak rumah masa kecil Presiden Jokowi? Presiden Joko Widodo menghabiskan masa kecilnya di beberapa rumah yang ia tempati bersama keluarganya. Salah satunya rumah masa kecilnya yang berada di Dusun Gumukrejo, Desa Giriroto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali.
-
Kapan Jokowi meresmikan rekonstruksi bangunan di Sulawesi Barat? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan rekonstruksi 147 bangunan yang rusak akibat gempa di Sulawesi Barat (Sulbar) pada 2021 silam.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda memaparkan lima faktor itu, yakni pertama adalah ketersediaan tanah melalui bank tanah sehingga harga tanah tidak mengikuti mekanisme pasar.
Kedua, lanjut dia, ketersediaan lembaga yang dapat fokus untuk mengurusi rumah rakyat. "Saat ini Perumnas diperkirakan cocok untuk tugas tersebut. Namun, harus keluar dari BUMN untuk menjadi fokus Perumnas yang tidak 'profit oriented' (mencari keuntungan)," katanya dilansir dari Antara, Minggu (28/6)
Kemudian, faktor ketiga adalah ketersediaan pendanaan terkait dengan bantuan FLPP serta pendanaan dari pihak lain seperti BPJS.
Faktor keempat adalah ketersediaan data dan informasi kekurangan perumahan, yaitu daerah mana saja yang porsi kekurangan rumah terbesar sehingga pembangunan menjadi tidak terarah dan hanya berorientasi fisik saja.
Terakhir, faktor kelima adalah pemangkasan biaya terkait dengan proses perizinan, biaya sertifikasi, dan penyambungan PLN.
"Program ini harus dimulai dengan inisiatif dari pemerintah. Jangan bebankan pengembang swasta yang dalam hal ini dapat dilakukan program kemitraan melalui program Hunian Berimbang yang juga harus dipenuhi oleh pengembang. Namun, jangan jadikan alasan oleh pemerintah untuk tidak membangun rumah," katanya.
Dia mengaku miris bahwa setiap tahun yang bisa memasok 100.000--150.000 unit rumah adalah seluruhnya pihak swasta, berbeda halnya dengan negara tetangga, Singapura.
Bila kita melihat negara Singapura dengan Housing Development Boardnya telah membangun satu jutaan unit flat mulai 1960-an, dan sejak 2000-an Singapura telah berhasil membuat 85 persen rakyatnya memiliki hunian," tutupnya.
(mdk/idr)