Kisah Surya Sahetapy Ditolak Naik Ojol, Sopir Sebut Anak Dewi Yull Ini Orang Cacat
Surya Sahetapy menginformasikan kepada sopir ojol dia berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Surya Sahetapy, putra dari artis terkenal Dewi Yull dan Ray Sahetapy, mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan saat kembali ke Indonesia. Setelah lama tinggal di luar negeri, Surya mengaku ditolak saat mencoba memesan ojek online. Dia membagikan pengalamannya melalui akun X miliknya @SuryaSahetapy.
"Seandainya kamu jadi saya. Terus orderan kamu dibatalkan oleh driver karena driver bilang bahwa dia tidak biasa bawa orang "cacat". Kira-kira apa reaksi kalian?" tulis Surya diakun media sosialnya dikutip Rabu (1/1).
"Saya kan bisa baca, tulis dan pakai bahasa isyarat kok. Beda bahasa. Itu masuknya saya "cacat"?" sambung Surya yang memang seorang tunarungu.
Surya, yang merupakan seorang disabilitas, mencoba menjelaskan kepada sopir dia menggunakan bahasa isyarat. Namun, reaksi sopir ojol tersebut sangat mengecewakan. Dalam tangkapan layar percakapan yang dibagikan Surya, sopir tersebut menulis, "Maaf saya cancel, saya nggak biasa bawa orang cacat."
Seperti diketahui, Surya yang baru kembali dari Amerika Serikat merasa terkejut dengan perlakuan diskriminasi yang diterimanya saat berlibur di Tanah Air. Namun dia tetap berusaha bersikap ramah atas perlakuan yang menyenangkan tersebut.
"Makasih sudah cancel karena saya tidak jadi diantar oleh orang yang attitude-nya tidak mencerminkan masyarakat dunia pada umumnya, jadi mental saya pun terjaga," ujarnya.
Saran Surya Sahetapy untuk Pengusaha Ojek Online
Pria berusia 31 tahun ini juga memberikan saran kepada aplikasi ojek online agar lebih peka terhadap hak-hak penyandang tuli.
"Usulan untuk @gojekindonesia dan aplikasi transportasi lainnya. Mohon untuk non-aktifkan telepon untuk pengguna bahasa isyarat dan tuli, dan infokan driver kalau akun ini pakai bahasa isyarat," terangnya.
Saran ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang kebutuhan penyandang disabilitas dalam menggunakan layanan transportasi.
"Juga sekalian edukasi driver bahwa pengguna bahasa isyarat bukanlah "cacat", melainkan mereka 'normal' dengan perbedaan dalam bahasa, budaya, dan cara berkomunikasi. Jika memungkinkan, sebaiknya ada pelatihan yang dilengkapi dengan simulator untuk berinteraksi dengan penumpang tuli dan menggunakan bahasa isyarat, agar mereka lebih terbiasa di masa mendatang," tambahnya.
Unggahan dari aktivis tuli dan juru bahasa isyarat tersebut mendapatkan beragam tanggapan dari netizen. Hingga berita ini ditulis, cuitan tersebut telah dilihat lebih dari 1,9 juta kali, disukai oleh lebih dari 16 ribu pengguna, dan menerima lebih dari 410 komentar.
"Dear Mas Surya, mohon bersabar dan jangan membandingkan dengan kondisi di AS. Akses terhadap pendidikan berkualitas di Indonesia masih perlu ditingkatkan," tulis seorang netizen.
"Banyak yang mengabaikan perasaan Mas Surya. Padahal, mereka sangat memahami bahwa apapun latar belakang drivernya, penggunaan istilah tersebut bisa menyakiti hati," ungkap yang lain.
"Gila, sangat tidak pantas sekali tulisan itu. Saya mohon maaf kepada Mas Surya atas pengalaman yang tidak menyenangkan ini, semoga pihak Gojek memberikan tanggapan yang memadai," sampaikan pengguna lain.
"Saya paham maksud Anda. Bagaimana perasaan Anda jika saya tidak bisa mengantar Anda karena saya tidak terbiasa membawa orang Indonesia (karena saya tidak menguasai bahasa Indonesia)? Bukankah ada Google Maps dan teknologi lainnya yang mendukung?," ujar netizen lainnya.
Aksi Surya Malah Dianggap Berlebihan
"Cuma mau berbaik sangka saja, bisa jadi tingkat pendidikan driver tersebut tidak sampai untuk menemukan kata lain selain "cacat". Saya biasa menemukan percakapan orang-orang yang menyebut orang disabilitas/kekurangan dengan cacat dan memang bukan dari kalangan yang bisa paham/tahu kata selainnya," ungkap salah satu warganet.
Di sisi lain, terdapat beberapa pengguna media sosial yang merasa reaksi Surya dianggap berlebihan dan berusaha membela sopir yang menggunakan istilah "cacat".
Surya pun merespons dengan nada humoris, "Enak dong kalau Anda belum pernah merasakan apa rasanya disebut cacat. Boleh tukaran gak?".
Perdebatan ini mencerminkan betapa sensitifnya isu mengenai penggunaan bahasa yang dapat menyakiti perasaan orang lain. Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak aplikasi ojek online terkait cerita yang disampaikan Surya Sahetapy.
Sebagai informasi, Surya telah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi dengan prestasi yang membanggakan. Ia meraih gelar Associate of Science setelah lulus dari National Technical Institute for the Deaf pada tahun 2019 dengan IPK 3,6 dan predikat Cum Laude.
Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di Rochester Institute of Technology dan lulus pada tahun 2021 dengan gelar Bachelor of Science serta mendapatkan predikat Magna Cum Laude berkat IPK 3,65. Terbaru, Surya menyelesaikan studi S2 atau Master of Science di Rochester Institute of Technology/National Technical Institute for the Deaf pada Mei 2023, menambah daftar pencapaiannya yang menginspirasi banyak orang.
Surya Sekarang Jadi Dosen di New York
Perjuangan Surya dalam menempuh pendidikan di Amerika Serikat tidaklah mudah. Ia membagikan sebagian kisahnya melalui unggahan di akun Instagramnya.
"Tahun 2018, saya membawa bendera guna mengingatkan saya selalu agar jangan lupa pulang setelah selesai studi," tulisnya dalam unggahan yang diposting pada 24 September 2023.
Kini, Surya telah diterima sebagai dosen di almamaternya, Rochester Institute of Technology yang terletak di New York, AS. "Tahun 2023 ini, saya bangga dengan sangat bersyukur untuk menerima tawaran dari RIT/NTID sebagai dosen pendidikan Tuli-HoH," lanjutnya.
Surya juga menceritakan momen ketika ia hampir menyerah dalam menyelesaikan studi akibat kebijakan di Indonesia yang menghalangi impiannya untuk menjadi pengajar. Ia mendapatkan dukungan dari pusat kesehatan mental Tuli di Rochester yang membantunya mengatasi trauma dan kesedihan.
"Hampir menyerah untuk menyelesaikan studi karena kebijakan di Indonesia yang mencegah mimpi saya jadi pengajar pada tahun lalu sehingga mendapatkan pertolongan dari pusat kesehatan mental Tuli di Rochester (trauma kecil, grief dll), dan berkat support system disini --- membuat saya untuk buka mata bahwa tidak salah untuk berkarir di luar," cerita Surya.
Surya juga menyinggung pentingnya egalitarianisme dan merujuk pada pembelajaran Hierarchy of Attitudes dari artikel Jerome D. Schein berjudul "Advocacy: A Dual Perspective," (1985). "atau tidak salah juga mencari arti melalui "google," tambahnya.