Profil
Colliq Pujie
Popularitas nama Colliq Pujie memang tidak sebesar jasanya terhadap perkembangan dunia sastra daerah Indonesia, khususnya untuk budaya dan sastra Bugis. Diketahui lahir di Sulawesi Selatan, tidak banyak catatan yang menorehkan kebesaran pribadi dan sosok penulis berbakat ini. Nama Pujie baru sampai ke telinga para tokoh sastra daerah Indonesia ketika dia diberitakan membantu B. F. Mathes menyalin berbagai naskah kuno Bugis dan cerita epik, I La Galigo, sebuah epos yang panjangnya dikabarkan melebihi dua genre sejenis dari India yang lebih terkenal, Ramayana dan Mahabharata.
Sayang memang, untuk sebuah usaha kesastraan yang menjadi refleksi abadi dari sejarah dan adat istiadat suatu masyarakat, tidak banyak yang bisa diketahui tentang pelaku upaya mulia itu sendiri. Bahkan untuk secuil catatan kaki mengenai tanggal lahir dan kematian seorang penulis sebesar Colliq Pujie pun belum bisa ditemukan. Untunglah, sejarah masih sempat menorehkan tinta abadinya untuk merekam karya penulis wanita penuh bakat ini. Selain 12 jilid epos panjang, I La Galigo, beberapa karya Pujie seperti Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan, Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete Kuno, Kumpulan Adat Istiadat Bugis, serta Berbagai Tatakrama dan Etika Kerajaan berhasil memukau banyak kalangan karena gaya tutur dan isinya yang sarat pengetahuan.
Colliq Pujie juga selamanya berjasa mengharumkan nama Indonesia di dunia sastra internasional atas kerja kerasnya bersama B. F. Mathes menyalin naskah I La Galigo hingga menjadi naskah dengan kualitas sangat mengesankan dan tersimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Lepas dari karya dan sumbangsih Colliq Pujie pada sastra daerah Indonesia, tinta emas sejarah hanya sempat tertetes singkat untuk merekam keagungan jasa yang telah disumbangkan penulis wanita asal Bugis ini dalam tiap jenak kehidupannya: Kota Tucae sebagai labuhan terakhir jasad Colliq Pujie.
Tapi mungkin itu kehendak sejarah: sang pengarang boleh hilang, asal karyanya tetap terpajang, sepanjang sejarah merekam zaman.
Riset dan analisis: Meilia Hardianti - Mochamad Nasrul Chotib