Jauh dari Unsur Kasih Sayang, Sejarah Hari Valentine Ternyata Suram dan Mengerikan
Hari Valentine biasanya dirayakan sebagai simbol cinta dan romansa.

Hari Valentine saat ini sering diasosiasikan dengan cinta, bunga, cokelat, dan kartu ucapan yang romantis. Namun, di balik keindahan perayaan ini, tersimpan sejarah kelam yang mencakup ritual berdarah dan eksekusi, hingga akhirnya hari ini menjadi perayaan kasih sayang yang mendunia.
Dikutip dari laman NPR pada Selasa (11/2), sejarah Valentine bermula dari zaman Romawi Kuno, di mana antara tanggal 13 hingga 15 Februari, masyarakat merayakan Festival Lupercalia. Dalam festival tersebut, pria Romawi mengorbankan kambing dan anjing, kemudian menggunakan kulit hewan yang disembelih untuk memukul wanita.
Menurut Noel Lenski, seorang profesor studi agama di Universitas Yale, ritual ini diyakini dapat meningkatkan kesuburan wanita yang terkena cambukan. Selain itu, festival ini juga menyelenggarakan lotre jodoh, di mana nama-nama wanita diundi dari sebuah wadah untuk dipasangkan dengan pria secara acak. Jika pasangan tersebut cocok, hubungan mereka bisa bertahan lebih lama daripada sekadar perayaan festival.
Nama Valentine sendiri diduga berasal dari dua pria yang dieksekusi oleh Kaisar Claudius II pada tanggal 14 Februari di abad ke-3. Kedua pria ini kemudian dianggap sebagai martir dan diperingati oleh Gereja Katolik pada Hari Santo Valentine.
Pada abad ke-5, Paus Gelasius I berupaya menghilangkan elemen pagan dari Lupercalia dengan menggabungkannya dengan perayaan St. Valentine. Meskipun lebih teratur dibandingkan sebelumnya, festival ini tetap mempertahankan aspek cinta dan kesuburan. Di waktu yang bersamaan, bangsa Norman juga memiliki perayaan serupa yang dikenal dengan nama Galatin's Day, yang berarti "pecinta wanita". Karena kesamaan bunyi, perayaan ini kemungkinan besar berkontribusi pada tradisi Hari Valentine yang berkembang kemudian.
Perayaan Cinta
Hari Valentine semakin dikenal sebagai simbol cinta, terutama berkat karya sastra dari Geoffrey Chaucer dan William Shakespeare yang telah mempopulerkannya di Eropa. Pada masa Abad Pertengahan, kartu ucapan cinta mulai dibuat secara manual sebagai wujud ekspresi kasih sayang yang tulus. Ketika tradisi ini menyebar ke Amerika, Revolusi Industri membawa perubahan yang signifikan, menjadikannya sebuah fenomena komersial yang besar.
Pada tahun 1913, perusahaan Hallmark Cards mulai memproduksi kartu Valentine secara massal, menandai awal dari komersialisasi perayaan ini. Saat ini, Hari Valentine telah berkembang menjadi industri yang bernilai miliaran dolar, di mana masyarakat mengeluarkan uang untuk membeli bunga, perhiasan, cokelat, dan kartu ucapan. Namun, proses komersialisasi ini tidak lepas dari kritik karena dianggap dapat menghilangkan makna sejati dari perayaan cinta.
Helen Fisher, seorang sosiolog dari Universitas Rutgers, menyatakan fenomena ini muncul karena permintaan yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.\
"Jika orang tidak ingin membeli kartu Valentine, Hallmark tidak akan bertahan," ujarnya.
Meskipun banyak orang merayakan Hari Valentine dengan penuh romansa, tidak semua orang merasakan hal yang sama. Sebagian memilih untuk merayakan Singles Awareness Day (SAD), menikmati waktu sendiri, atau bahkan menolak tekanan sosial untuk memiliki pasangan. Terlepas dari itu, perayaan ini terus berkembang dengan makna yang kini bervariasi bagi setiap orang, menciptakan pengalaman yang unik bagi masing-masing individu.