Global Warming Semakin Menakutkan, Puncak Gunung Fuji Tak Kunjung Muncul Salju Setelah 130 Tahun
Perubahan iklim semakin nyata setelah Gunung Fuji tidak kunjung bersalju. Fenomena ini terjadi setelah hampir 130 tahun berlalu. Apa yang terjadi?
Gunung Fuji, yang biasanya tertutup salju pada awal Oktober, mengalami keterlambatan hujan salju yang belum pernah terjadi sejak pencatatan pertama 130 tahun yang lalu. Fenomena ini menjadi bukti nyata dampak perubahan iklim, yang semakin terasa dengan suhu yang jauh lebih hangat dari biasanya.
Pada musim panas 2024, Jepang mengalami suhu yang mencapai titik tertinggi dalam sejarah, membuat musim panas itu menjadi yang terpanas. Akibatnya, suhu hangat berlanjut hingga musim gugur, menunda turunnya salju di puncak Gunung Fuji.
Kantor Meteorologi Lokal Kofu mencatat bahwa rata-rata salju mulai turun pada tanggal 2 Oktober, namun hingga akhir bulan, salju masih belum terlihat. “Bahkan saat bulan November sudah dekat,” tulis Alexa Robles-Gil di laman Smithsonian Magazine. Tahun sebelumnya, salju pertama tampak pada tanggal 5 Oktober, menandakan awal musim dingin di puncak tertinggi Jepang ini.
Salju Simbol Gunung Fuji
Fenomena ini mendapat perhatian besar, terutama mengingat simbol ikonik Gunung Fuji yang kerap digambarkan tertutup salju, seperti karya seniman Jepang Katsushika Hokusai pada tahun 1831 dalam lukisannya yang terkenal, The Great Wave of Kanagawa. Gambar Gunung Fuji yang tertutup salju telah menjadi ikon budaya Jepang dan simbol kemurnian serta ketenangan alam.
Namun, ketenangan ini terusik dengan cuaca ekstrem. Dalam keterangan yang disampaikan oleh Yutaka Katsuta, seorang ahli prakiraan cuaca di Kantor Meteorologi Kofu, ia menyatakan, “Suhu tinggi musim panas tahun 2024 ini. Suhu tinggi ini berlanjut hingga September, menghalangi udara dingin.”
Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pola suhu global mulai memengaruhi keseimbangan iklim di Jepang, di mana suhu udara yang terus berada di atas normal tidak memungkinkan udara dingin mendekati puncak Fuji.
Cuaca Ekstrem Jepang
Tidak hanya suhu yang tinggi, Jepang juga menghadapi fenomena jet stream, yakni aliran udara cepat yang bergerak mengelilingi planet. Jet stream biasanya terjadi saat udara hangat dari selatan bertemu dengan udara dingin dari utara. Di bulan September, jet stream subtropis di Jepang bergerak ke arah utara, membawa aliran udara selatan yang lebih hangat, sehingga menambah keterlambatan turunnya salju.
Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi salju di puncak Gunung Fuji, tetapi juga memicu reaksi dari pejabat dan warga lokal. Shinichi Yanagi, seorang ahli meteorologi di kantor Kofu, menjelaskan bahwa musim panas 2024 yang panas dan berlarut-larut ini memengaruhi pola salju di Jepang.
“Jika emisi gas rumah kaca global tidak dikurangi, sebagian besar dunia akan mengalami musim dingin tanpa salju pada tahun 2100,” kata Andrew Schwartz, ilmuwan atmosfer di Laboratorium Salju Central Sierra Universitas California Berkeley. Ini menjadi peringatan keras bahwa pemanasan global dapat memusnahkan musim dingin dengan salju.
Gunung Fuji jadi Destinasi Favorit
Di sisi lain, popularitas Gunung Fuji sebagai tujuan wisata yang semakin meningkat juga membawa tantangan tersendiri. Setelah pembatasan Covid-19 dicabut, Jepang mulai menyaksikan lonjakan wisatawan yang ingin mendaki lereng gunung ini.
"Setelah pembatasan Covid dicabut, kami mulai melihat lebih banyak orang,” ungkap Toshiaki Kasai, seorang pejabat pemerintah setempat. Kepadatan turis ini menambah tekanan terhadap Gunung Fuji, tidak hanya dalam hal kebersihan dan pelestarian lingkungan, tetapi juga terkait keamanan pendakian. Banyak pendaki dilaporkan tidak menggunakan perlengkapan yang tepat dan membuang sampah sembarangan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Jepang telah memberlakukan biaya pendakian sebesar 2.000 yen (sekitar Rp205.000) serta membatasi jumlah pengunjung hingga 4.000 orang per hari selama musim pendakian. Langkah ini diharapkan dapat membantu mengurangi dampak buruk pariwisata terhadap lingkungan dan pelestarian Gunung Fuji.
Namun demikian, langkah-langkah ini belum cukup untuk mencegah dampak besar dari pemanasan global yang membuat salju di Gunung Fuji semakin langka. Masatake Izumi, pejabat pemerintah di Prefektur Yamanashi, mengungkapkan kekhawatirannya, “Pariwisata yang berlebihan—dan semua konsekuensinya seperti sampah, meningkatnya emisi CO2, dan pendaki ceroboh—adalah masalah terbesar Gunung Fuji,” katanya. “Fuji-san menjerit kesakitan.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa Gunung Fuji kini menghadapi ancaman serius, bukan hanya dari cuaca yang tidak menentu, tetapi juga dari aktivitas manusia yang tak terkendali.
Fenomena keterlambatan salju di puncak Gunung Fuji menjadi penanda nyata dampak pemanasan global, yang tidak hanya mengubah wajah alam, tetapi juga budaya dan kehidupan masyarakat. Jika perubahan iklim terus berlanjut, Gunung Fuji yang tertutup salju mungkin hanya akan menjadi kenangan, sementara generasi mendatang kehilangan kesempatan untuk menyaksikan ikon Jepang dalam kemurniannya.