Fenomena ini berdampak besar terhadap aspek kehidupan di wilayah tersebut.
Salju Abadi di Papua Terancam Punah Akibat Fenomena El Nino
Kondisi salju abadi atau tutupan es di Puncak Jaya, Papua semakin mengkhawatirkan.
Salju tersebut terus mengalami pencarian akibat dampak perubahan iklim fenomena El Nino.
El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Fenomena iklim ini memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
Ekosistem di kawasan Puncak Jaya terancam
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena El Nino yang terjadi tahun ini berpotensi turut mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya tersebut.
Fenomena ini berdampak besar terhadap aspek kehidupan di wilayah tersebut.
"Ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut," kata Dwikorita dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (23/8), demikian dikutip Antara.
Dalam seminar bertajuk 'Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?' di Jakarta, Selasa (22/8) Dwikorita menerangkan, Indonesia menjadi salah satu lokasi unik di wilayah tropis karena memiliki salju abadi.
Salju abadi di Puncak Jaya, kata dia, adalah sebuah keajaiban alam yang menarik banyak perhatian dari kalangan ilmuwan, peneliti, serta pecinta alam.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi tersebut.
Lapisan Es Terus Menipis
Dwikorita mengatakan bahwa sejak tahun 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG bersama Ohio State University, AS, telah melakukan studi terkait analisis paleo-klimatologi berdasarkan inti es (ice core) pada gletser Puncak Jaya.
BMKG dengan didukung PT Freeport Indonesia kemudian terus melakukan kegiatan pemantauan secara berkala terhadap luas dan tebal gletser di Puncak Jaya.
Hasilnya, sejak pengamatan dilakukan sampai saat ini, tutupan es di Puncak Jaya mengalami pencairan dan menuju kepunahan.
Pada 2010, tebal es diperkirakan mencapai 32 meter dan laju penipisan es sebesar 1 meter per tahun terjadi pada tahun 2010-2015.
Kemudian saat terjadi El Nino kuat pada tahun 2015-2016, penipisan es pun mencapai 5 meter per tahun.
Mitigasi Perubahan Iklim
Dwikorita menekankan pula bahwa semua pihak perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dilakukan bersama baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dan pihak terkait lainnya.
Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dan penerapan energi baru dan, atau terbarukan menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan.
"Kita perlu terus menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan.Dalam Dialog untuk Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional di BAPPENAS tanggal 21 Agustus yang lalu, BMKG merekomendasikan pula perlunya program yang lebih sistematis dan berkelanjutan untuk Observasi/pemantauan terhadap parameter lingkungan," kata Dwikorita.
Sementara itu, Donaldi Sukma Permana, Pakar Klimatologi BMKG yang memimpin Studi Dampak Perubahan Iklim pada Gletser di Puncak Jaya menambahkan bahwa dalam rentang waktu tahun 2016-2022, laju penipisan es terjadi sekitar 2,5 meter per tahun.
Adapun luas tutupan es pada tahun 2022 sekitar 0,23 kilometer persegi dan terus mengalami pencairan.
Menurutnya dampak nyata lainnya dari pencairan es di pegunungan ini adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan air di sebagian besar wilayah Indonesia yang diperkirakan akan mengalami penurunan tingkat curah hujan.