Ketebalan Tutupan Es di Puncak Jaya Papua Berkurang Empat Meter, BMKG Ungkap Penyebabnya
Diperkirakan berkurang sekitar empat meter berdasarkan pemantauan terakhir pada Desember 2023
Ketebalan tutupan es di Puncak Jaya, Papua, diperkirakan berkurang sekitar empat meter
Ketebalan Tutupan Es di Puncak Jaya Papua Berkurang Empat Meter, BMKG Ungkap Penyebabnya
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menemukan ketebalan tutupan es di Puncak Jaya, Papua, diperkirakan berkurang sekitar empat meter berdasarkan pemantauan terakhir pada Desember 2023.
“Hal ini kemungkinan terkait kondisi El Nino pada 2022-2023,” kata Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Klimatologi Pusat Litbang BMKG Donaldi Permana dalam seminar virtual terkait iklim berkelanjutan menyambut Hari Meteorologi Dunia ke-74 di Denpasar, Bali, Kamis (18/4).
Menurut Donaldi, BMKG melakukan pemantauan tutupan es atau gletser di Puncak Jaya pada 2009-2023.
Dari 2016 hingga 2022, kata dia, rata-rata pengurangan luas es mencapai sekitar 0,07 kilometer persegi per tahun dengan estimasi total luas es pada April 2022 mencapai 0,23 kilometer persegi.
Melansir dari Antara, Pada pemantauan 2022, BMKG memperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 mencapai enam meter.
Namun, satu tahun kemudian yakni pada Desember 2023 data terakhir menunjukkan ketebalan es makin menipis dengan pengurangan hingga empat meter atau menyisakan hingga ketebalan dua meter.
Ia menyebutkan perubahan iklim akibat pemanasan global berperan besar membuat tutupan salju abadi satu-satunya di wilayah Indonesia itu sedikit demi sedikit terus menipis sejak revolusi industri pada 1850.
Berdasarkan pemaparannya, pada 1850 cakupan luas es abadi di Puncak Jaya Papua itu mencapai sekitar 19 kilometer persegi, kemudian makin merosot hingga pada Mei 2022 diperkirakan mencapai 0,34 kilometer persegi.
Selain di gletser di Puncak Jaya yang menipis, ia menyebutkan beberapa pegunungan di wilayah tropis juga mengalami pencairan es di antaranya Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Quelccaya di Peru, dan Naimona’nyi di dataran tinggi Himalaya, Tibet.
Ia memaparkan perubahan iklim secara global pada periode 2023 merupakan tahun terpanas dengan suhu rata-rata global selama 10 tahun yakni 2014-2023 mencapai 1,20 plus minus 0,12 derajat celcius.
Donaldi menekankan pentingnya mengurangi emisi karbon dioksida mencakup mitigasi dan adaptasinya.
“Karbon dioksida kalau tidak segera dilakukan mitigasi atau pengurangan maka dia akan berada di atmosfer cukup lama yakni dalam 100 tahun ke depan itu konsentrasi masih ada 33 persen,” katanya.
Sejumlah mitigasi dan adaptasi perlu dilakukan
di antaranya penanaman pohon, mengurangi dan mendaur ulang plastik, transisi energi hijau, hemat listrik, hemat BBM hingga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.