Sejarah Pekat di Balik Kecap Manis, Pelengkap Rasa Kesayangan Masyarakat Indonesia
Kecap manis merupakan saus favorit masyarakat Indonesia yang bisa ditemui di meja makan dengan masing-masing keluarga memiliki merek favoritnya sendiri.

Kecap manis merupakan saus favorit masyarakat Indonesia yang bisa ditemui di meja makan dengan masing-masing keluarga memiliki merek favoritnya sendiri.

Sejarah Pekat di Balik Kecap Manis, Pelengkap Rasa Kesayangan Masyarakat Indonesia
Sebagai sebuah bumbu masak, kecap memang sudah dikenal sebagai salah satu penyedap yang khas dari China. Namun Indonesia juga memiliki varian kecapnya sendiri yang memiliki citarasa sangat berebeda dari aslinya dan memiliki rasa manis yang hanya ada di Indonesia saja.
Sejarah kecap manis mencerminkan perpaduan budaya antara Tiongkok dan Indonesia. Bumbu ini menjadi bukti akulturasi dan adaptasi budaya yang menghasilkan cita rasa khas Nusantara. Kecap manis bukan hanya bumbu dapur, tetapi juga simbol pertukaran budaya dan sejarah yang panjang.
Akar sejarah kecap manis merentang hingga ke Tiongkok. Pada masa Dinasti Zhou (1046-256 SM), masyarakat Tiongkok telah mengenal saus fermentasi yang terbuat dari kedelai dan disebut sebagai "jiang". Saus ini dibawa oleh para pedagang Tiongkok ke berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, "jiang" mengalami adaptasi dan modifikasi rasa sesuai selera lokal. Gula aren ditambahkan untuk menghasilkan rasa manis yang khas. Proses fermentasi juga diperkaya dengan penggunaan jamur koji, menghasilkan tekstur kental dan aroma yang kompleks.
Bahan makanan yang namanya berasal dari kata koechiap atau ke-tsiap ini sesungguhnya memiliki usia yang sudah sangat tua dan bahkan lebih awal dibanding sistem penanggalan masehi yang kini digunakan. Di wilayah Indonesia sendiri, bahan ini diperkirakan sudah mulai masuk sejak akhir abad abad ke-17.

Dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Masakan Nusantara (2016), Fadly Rahman menulis bahwa catatan mengenai kata ini di wilayah Nusantara didapat melalui laporan yang ditulis oleh seorang pedagang bernama William Petyt pada tahun 1680.
Uniknya, catatan mengenai kecap tersebut ditulisnya dengan cukup unik ukan dengan nama aslinya melainkan sebagai catch-up. Padahal pada masa itu, kecap dari tiongkok juga sudah cukup dikenal di dunia dan memiliki sebutan sebagai soy sauce yang biasa digunakan hingga saat ini.
Penyebutan catch-up dan bukannya soy sauce untuk kecap asal Nusantara ini ditengarai karena memang rasanya yang sudah cukup berbeda. Jika kecap dari Tiongkok dan Jepang lazimnya cenderung memiliki rasa asin maka kecap dari Nusantara memiliki tekstur yang lebih kental dan rasa yang manis.

Rasa manis dari kecap Nusantara itu merupakan akibat dari penyesuaian rasanya dengan lidah masyarakat lokal. Hal itu menyebabkan dalam pembuatannya, kecap di Nusantara tidak hanya berbahan kedelai saja namun juga dicampur dengan gula Jawa. Bahkan di beberapa daerah juga ditambah beberapa bahan lain seperti rebon, kayu manis, kapulaga, jahe serta berbagai bahan lainnya untuk menyesuaikan rasanya dengan lidah masyarakat lokal.
Semakin berkembangnya masa, kecap menjelma menjadi salah satu bumbu yang paling khas dari beberapa wilayah Nusantara terutama pulau Jawa. Rasa manis yang dilahirkan dari gula Jawa dan berpadu dengan gurihnya keledai menjadikan munculnya citarasa yang sangat khas dan tidak dapat terpisahkan pada lidah masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Uniknya, terdapat banyak pabrik kecap di Indonesia yang memiliki citarasa berbeda-beda di tiap daerah. Bahkan tak jarang dalam satu daerah juga terdapat puluhan pabrik kecap dengan racikan resep dan hasil akhir rasa yang sangat berbeda.

Perbedaan rasa yang beragam dari kecap ini membuat banyak orang menjadi sangat fanatik dengan merek-merek kecap tertentu. Namun walau berbeda rasa, kentalnya rasa manis dari kecap ini merupakan pemersatu yang membedakan bumbu masak ini dari kecap asal negara dan budaya lain.