Profil
I Nyoman Sumaryadi
Pada tahun 2007 sebuah institusi pendidikan yang terkenal dengan peraturan dan kedisiplinan tingkat tinggi diguncang kabar heboh. Bukan tahun itu saja sebenarnya, karena sebelumnya lembaga pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini beberapa kali dihebohkan dengan kabar salah satu pelajar yang meninggal entah karena kecapekan dengan sistem pengajarannya atau karena disiksa senior seperti dikabarkan pemberitaan beberapa waktu lalu. Namun, di tahun 2007 itu kabar meninggalnya salah satu pelajar cukup menghebohkan lantaran rektor IPDN yang menjabat kala itu I Nyoman Sumaryadi dituding ikut campur dalam meninggalnya salah satu pelajar asal Manado, Cliff Muntu. Dalam pemberitaan tersebut, pria kelahiran Adnyasari, 25 Desember 1950 ini terbukti dinyatakan bersalah berdasarkan tindakannya yang telah membuat surat palsu dengan memulihkan kembali status praja IPDN yang dinonaktifkan karena terlibat penganiayaan. Tak hanya itu, Sumaryadi juga dituding telah menutup-nutupi berita kematian praja Cliff Muntu dengan menolak adanya autopsi, menyuntikkan formalin pada tubuh Cliff Muntu tanpa sepengetahuan penyidik, lalu mengkoordinasikan berita kematian ini dengan praja IPDN lainnya. Terkait kasus tersebut, Sumaryadi dijerat pasal 222 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP. Namun, tuntutan itu dinyatakan tak terbukti dan ayah dari tiga anak ini dinyatakan bebas setelah sebelumnya dinonaktifkan sebagai rektor.
Berhenti sementara sebagai rektor, Sumaryadi kembali menjabat sebagai rektor pada tanggal 21 Agustus 2009. Belum diketahui alasan pasti mengapa suami dari Dra. Hj. Darwijati, M.Si ini menjabat kembali sebagai rektor berdasarkan Keputusan Presiden No.83/ M Tahun 2009 tertanggal 11 Agustus 2009.
Menjabat kembali sebagai rektor, beberapa kali pemberitaan menyangkut alumni Universitas Padjajaran program doktoral ini mencuat. Salah satunya adalah kasus di mana ia menuding dan mengatakan bahwa suku Sunda adalah pencuri. Tuduhan tersebut dilatar belakangi adanya pencurian kabel, penebangan pohon, dan saluran air rusak yang pada akhir 2011 lalu cukup marak diberitakan. Kabar tersebut mulanya disangkal oleh Sumaryadi, namun akhirnya ia meminta maaf pada suku Sunda atas perkataannya tersebut.
Riset dan Analisis: Atiqoh Hasan