Profil
Ismail Fajrie Alatas
Menarik jika mengupas tentang fenomena habib yang kini kian menjamur di Indonesia. Ada beberapa fenomena yang belakangan tersorot media, seperti kerusuhan yang sering dilakukan oleh salah satu organisasi Islam dan sering kali merugikan banyak orang lantaran sikapnya yang radikal serta yang terakhir booming adalah berita mengenai seorang yang mengaku habib namun ia dituding melakukan pelecehan seksual terhadap santrinya. Berbeda dengan fenomena tersebut, Ismail Fajrie Alatas, seorang humanis yang juga seorang habib dan lebih dikenal dengan pemikiran intelektualnya yang menggabungkan sisi antropolgi dengan agama.
Dalam keseharian, kandidat doktor dari University of Michigan ini dikenal sebagai seorang yang santun dengan pola pikir maju. Ditanya bagaimana tanggapannya mengenai keberadaan Islam masa kini, ia menuturkan bahwa Islam kini berubah menjadi agama yang kaku dan rentan dengan konflik. Sisi fleksibilitas dan elastisitas pada islam telah luntur yang disebabkan oleh pola tekstualitas yang dilakukan oleh banyak kalangan muslim dalam memahami Islam. Sehingga Islam kehilangan unsur kelembutan, toleransi, dan keindahannya. Dengan mengutip Al-Ghozali, pria yang akrab disapa Adjie ini memaparkan bahwa hakikatnya agama Islam adalah agama yang bersumber pada hati di mana kelembutan, toleransi, keindahan, fleksibilitas, dan elastisitas terbentuk. Tak hanya dibentuk dalam kelembutan, Islam pun juga harus disampaikan dengan kelembutan yang serupa. Jika penyebaran agama Islam nyatanya disampaikan dengan pola pikir reaktif yang nilai-nilainya hanya bersumber dari akal, maka hal itulah yang menyebabkan adanya radikalisme di kalangan masyarakat, terlebih itu Islam.
Berkomentar mengenai fenomena lain yang menyebutkan bahwa habaib (para habib) cenderung dekat dengan kekuasaan, penulis buku Sungai Tak Bemuara; Risalah Konsep Ilmu dalam Islam Sebuah Tinjauan Ihsani ini memaparkan bahwa hubungan politisi atau penguasa dengan habaib atau kiai dan ulama merupakan salah satu contoh simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan. Seperti para politisi mendapatkan massa yang banyak dari jamaah habaib, sedangkan habaib mendapatkan uang dari politisi tersebut. Ia juga mengatakan bahwa bisa saja habaib-habaib mendekati penguasa untuk kepentingan tertentu seperti untuk menghidupkan majelis. Namun, pada dasarnya para habaib tidak membutuhkan para politisi, justru sebaliknya karena dianggap punya massa, maka politisi akan mendekat dan memberikan fasilitas pada massa yang dibawa habaib dan majelis yang dipimpin tersebut.
Barang kali memang benar fenomena habaib sedang menjamur, namun, pemerhati diaspora ini berkomentar lain. Ia beranggapan bahwa apa yang tengah marak kini adalah salah satu bentuk dan cara bagaimana warga pinggiran Jakarta berekspresi dan menunjukkan eksistensinya. Lebih lanjut pria kelahiran Semarang, 18 September 1983 ini bertutur bahwa mayoritas jama'ah yang ikut serta dengan pengajian yang dipimpin oleh para habaib berasal dari pinggiran Jakarta yang ingin menunjukkan eksistensi dengan cara yang lain, sebut saja melalui konvoi di jalanan yang digagas oleh salah satu habib muda yang memang bertujuan menghimpun jama'ah dari kalangan remaja agar mau bersholawat tapi tetap eksis dan tidak terjerumus pada kehidupan hedonis jaman sekarang. Selain itu, sikap negara yang dianggap terbuka membuat majelis ta'lim-mejelis ta'lim semakin kebanjiran jama'ah lantaran majelis ta'lim tersebut memiliki efek yang bagus, salah satunya adalah anak muda yang semula begajulan, mabok, ngobat, dan lain-lain akhirnya malam Minggu mau ikut shalawatan.
Riset dan Analisa oleh Atiqoh Hasan