Menilik Sejarah Kampung Palalangon Cianjur, Permukiman Kristiani Tertua di Jawa Barat

Merdeka.com - Cianjur selama ini dikenal sebagai salah satu daerah santri di Jawa Barat. Berdasarkan data dari infopesantren.com, sampai tahun 2020 ini terdapat 117 pesantren yang tersebar merata di 32 kecamatan di kabupaten tersebut.
Di balik nuansa Islamnya yang kuat, daerah yang terkenal dengan hasil pertaniannya ini ternyata juga memiliki perkampungan Kristiani yang telah ada sejak ratusan tahun silam. Kampung tersebut adalah Kampung Kampung Palalangon yang berada di wilayah Gunung Halu dan mulai ditempati oleh masyarakat Kristen Pribumi pada masa Bupati Cianjur era Raden Prawiradiredja (1862-1910).
Dilansir dari arsipindonesia.com, saat itu komunitas penyebar Agama Kristen dari Hindia Belanda (Nederlandsche Zendings Vereeniging) meminta lahan kepada bupati untuk mereka tempati. Mereka kemudian menempati daerah Palalangon dan menjadi cikal bakal perkampungan Kristiani yang masih ada hingga kini. Berikut selengkapnya.
Berawal dari Intimidasi
©2020 http://arsipindonesia.com/EditorialMerdeka.com
Dalam catatan sejarah, masyarakat Sunda yang menganut ajaran Kristiani kerap mendapat intimidasi. Hal ini karena agama tersebut dianggap sebagai agama Belanda.
“Saat itu orang-orang Sunda mengidentikkan Kristen sebagai agama orang Belanda. Jadi sangat dimengerti jika keberadaan mereka tak diterima oleh keluarga besarnya masing-masing,” ujar Raistiwar Pratama, peneliti dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang pernah melakukan riset mengenai komunitas Kristen Sunda itu beberapa waktu lalu seperti dilansir dari Historia.
Anggota NZV, B.M. Alkema kemudian menghadap Bupati Cianjur dan meminta saran hingga diberi petunjuk untuk terus berjalan ke arah timur.
Mendirikan Perkampungan Kristen Sunda
Setelah mendapat saran dari bupati, B.M. Alkema beserta ketujuh pengikutnya lantas menyusuri kawasan Sungai Cisokan hingga tembus ke aliran sungai Citarum. Setelah itu mereka menemukan sebuah bukit yang cukup landai dan mulai mendirikan patok-patok sebagai kawasan tempat tinggal.
Untuk menandai lokasi tersebut, B.M. Alkema pun berikrar di depan para pengikutnya untuk membangun sebuah perkampungan Kristiani di lokasi tersebut. Para pengikutnya pun mulai menjemput keluarganya masing-masing dan membangun komunitas di lokasi tersebut.
Dibangun Gereja Pertama dan Kebaktian Sederhana
Setelah kurang lebih satu tahun fokus pada pemukiman, mereka pun mulai membangun gereja pertama yang mereka sebut sebagai gereja darurat. Gereja ini dibangun untuk kebutuhan kebaktian.
Pada 17 Agustus 1902, gereja yang dibuat dari daun ‘eurih’ atau ilalang tersebut selesai dibuat dan melangsungkan kebaktiannya untuk pertama kali.
Saat itu ketujuh pengikut setia B.M. Alkema memberi nama Kampung Palalangon yang berarti ‘Menara.’
Toleransi Hingga Hari Ini
Saat ini, kawasan tersebut juga telah banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama Islam. Meski berbeda keyakinan, mereka hidup berdampingan secara damai dan terus menjalankan prinsip saling bertoleransi dan tetap mengasihi.
Bahkan saat ada salah satu warga yang jatuh sakit atau meninggal, mereka akan saling menolong dengan memberikan bantuan untuk meringankan beban.
“Jika ada saudara Muslim meninggal, kami juga ikut datang berbela sungkawa dan pastinya terlibat dalam kegiatan teknis seperti penggalian makam. Begitu juga sebaliknya, tanpa diminta mereka pun akan datang jika kami tengah mengalami hal yang sama,” kata Yudi Setiawan, selaku koster (pembantu) di Gereja Kristen Pasundan (GKP), Kampung Palalangon seperti dilansir dari arsipindonesia. (mdk/nrd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya