Profil
Jan Engelbert Tatengkeng
J.E. Tatengkeng adalah salah seorang penyair angkatan Pujangga Baru bersama-sama dengan Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan beberapa penyair lain. Dibandingkan dengan kawan-kawan penyair seangkatannya, J.E. Tatengkeng atau yang sering disapa dengan nama Oom Jan ini memiliki keunikan tersendiri, karena ia merupakan satu-satunya penyair Kristen yang menampilkan sisi religi dalam karya-karyanya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah buku kumpulan puisi berjudul "Rindu Dendam" yang memuat 32 sajak hasil karyanya.
Penyair bernama lengkap Jan Engelbert Tatengkeng ini lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara pada tanggal 19 Oktober 1907. Latar belakang Kristiani-nya yang kental sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Masyarakat di sana adalah penganut Kristen yang taat. Terlebih lagi, ayahnya seorang guru Injil sekaligus seorang kepala sekolah zending.
J.E. Tatengkeng termasuk orang yang beruntung karena mampu mengenyam pendidikan di zaman itu. Ia memulai pendidikannya di sebuah sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Ia kemudian meneruskannya ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat. Setelah itu ia bersekolah di Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo, Jawa Tengah. Pada masa bersekolah ini, J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan "Tachtigers", sebuah aliran kesusastraan Belanda yang disebut juga sebagai Angkatan 80-an. Aliran kesusastraan inilah yang kemudian banyak mempengaruhinya. Namun Tatengkeng tidak serta merta menelan mentah-mentah faham dari aliran tersebut. J.E. Tatengkeng tidak sependapat dengan Jacques Perk yang menyatakan seni adalah segala-galanya. Dalam sebuah tulisannya, "Penyelidikan dan Pengakuan" (1935), Tatengkeng menulis, "Kita tidak boleh menjadikan seni itu Allah. Akan tetapi, sebaliknya, janganlah kita menjadikan seni itu alat semata-mata. Seni harus tinggal seni." Bagi Tatengkeng, seni adalah gerakan sukma, "Gerakan sukma yang menjelma ke indah kata! Itulah seni bahasa!," katanya.
Dari sajak-sajak karyanya, kita bisa sedikit mengetahui jalan hidup yang ditempuh Tatengkeng dalam mencari kebenaran hakiki. Kedekatannya dengan aliran kesusastraan Tachtigers dari Belanda membawa pengaruh pemikiran budaya barat dalam hidupnya. Namun Tatengkeng tidak bisa menemukan kebenaran yang ia cari di sana. Akhirnya, alam menjadi pelarian Tatengkeng. Pada beberapa karyanya, ia menggambarkan alam dengan begitu indahnya, yang mengungkapkan kedekatan dan kekagumannya pada alam.
Meskipun alam telah menjadi tempat pelariannya dalam usaha menemukan kebenaran, namun kebenaran masih menjadi misteri. Di kawanan awan, di warna bunga yang kembang, pada gunung, dan pada bintang, tetap saja Tatengkeng belum merasa berhasil menemukan kebenaran hakiki. Dalam perjalanan hidupnya, ia menyadari dan meyakini bahwa kebenaran itu hanya ada pada Allah semata. Ia mencari jawaban akan kebenaran yang dicarinya di berbagai tempat: di mata air, di dasar kolam, di kawanan awan, di indahnya bunga, gunung, dan bintang. Sampai ia berseru kepada Allah yang Mahatinggi. Gambaran itu dapat kita temui dalam sajaknya: "Kucari Jawab".
Selain sebagai seorang penyair, J.E. Tatengkeng juga seorang negarawan. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Nusa Tenggara Timur ke empat pada rentang tahun 1949-1950. Jabatan ini menunjukkan bahwa Tatengkeng juga sangat aktif di dunia politik. Sayangnya tidak banyak catatan-catatan yang merekam aktivitas-aktivitasnya yang lain di bidang politik-kenegaraan.
Kegiatan lain yang sering digeluti J.E. Tatengkeng adalah aktivitas di dunia pendidikan. Ia adalah seorang guru yang pernah menjadi kepala sekolah di daerah Papua, dan juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Fakultas Sastra Universitas Hassanuddin Ujung Pandang atau Makassar. Sampai saat ini, di Makassar ada diskusi ilmiah dan baca puisi yang cukup rutin digelar untuk peringatan akan jasa-jasa Jan Engelbert Tatengkeng di dunia sastra, pendidikan, dan kenegaraan yang dulu digelutinya.
Oleh: Siwi P. Rahayu