Negara maunya perang, rehabilitasi terabaikan
Merdeka.com - Saat menghadiri seremoni di Sukabumi, Jawa Barat, Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso bangga memamerkan senapan jarak jauh canggih buatan Amerika Serikat. Ketepatan bidik senapan itu mencapai jarak 1,6 kilometer. Pabrikan senjata ini tidak disebut, namun mempertimbangkan spesifikasinya, merek yang dimaksud kemungkinan senapan Cheytac kaliber .408 atau Barret kaliber 50.
Budi, selaku Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan anak buahnya akan dibekali senjata berat itu saat menjalankan tugas.
Polri maupun TNI diklaim belum memiliki senapan canggih serupa. "Senjata ini kami gunakan untuk menembak para bandar narkoba," kata Budi dalam jumpa pers Minggu (4/9).
-
Bagaimana mengatasi permasalahan narkoba di Indonesia? Untuk mengeluarkan para penegak hukum dari jerat narkoba, perlu ketegasan dan penanganan khusus. Jika tidak, alih-alih memberantas narkoba, para penegak hukum yang terjebak di dalamnya justru menyemarakkan pasar narkoba di Indonesia. Kita yakin, amat yakin, mereka sebenarnya paham bahwa satu-satunya jawaban untuk meredam sepak terjang para penjahat narkoba hanyalah ketegasan.
-
Kenapa Pemprov Jateng sangat fokus memberantas narkoba? Sebab, kasus kejahatan narkoba di Jawa Tengah butuh perhatian khusus.
-
Bagaimana cara memerangi narkoba? Peringatan ini juga menjadi ajang bagi berbagai negara untuk menunjukkan komitmen mereka dalam memerangi narkoba melalui kebijakan yang efektif, penegakan hukum yang ketat, dan kampanye pendidikan yang luas.
-
Apa upaya Pemprov Jateng dalam memberantas narkoba? Pemberantasan kita juga diperkuat, tetapi yang lebih penting juga adalah upaya rehabilitasi.
-
Bagaimana Pemprov Jateng mencegah narkoba? Upaya pencegahan penggunaan narkoba akan lebih diutamakan. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencegahan adalah menggencarkan sosialisasi, dan menyelenggarakan deklarasi anti narkoba.
-
Bagaimana narkoba bisa mengancam keberlanjutan negara? 'Kalau generasi muda kita sudah dihancurkan siapa yang akan melanjutkan keberlanjutan negara ini kalau kita tidak selesaikan dari generasi muda,' pungkasnya.
Pengadaan senjata canggih oleh BNN ini adalah tahapan baru perang melawan narkoba yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Komjen Budi, yang akrab disapa Buwas, sejak menduduki jabatan kepala BNN kerap melontarkan wacana penindakan keras terhadap pelaku kejahatan narkoba.
Dalam acara yang sama di Sukabumi, Budi ingin pemerintah Indonesia meniru pendekatan perang narkoba ala Filipina. Artinya, penembakan mati ekstrajudisial terhadap setiap orang yang terlibat bisnis narkoba tanpa kecuali. Termasuk pecandu sekalipun. Perang yang dicanangkan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina telah menelan korban nyaris 2.000 orang, tidak semuanya terbukti bersalah sebagai pengedar maupun pecandu.
"Jika kebijakan seperti itu diterapkan maka kami yakin, bandar dan pengguna narkoba di negeri tercinta ini akan menurun drastis," kata Budi. "Satu nyawa bandar narkoba sangat tidak berarti dan seharusnya setiap bandar dihabisi."
Komjen Budi tahun lalu pernah melontarkan wacana kontroversial revisi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Dia ingin syarat rehabilitasi pengguna diperberat. Alasannya, banyak pengedar berlindung di balik kesempatan rehabilitasi sehingga tidak dipenjara.
Dalam bayangan Budi, seseorang diputuskan hanya menjalani rehabilitasi tanpa menjalani hukuman penjara, harus berdasarkan keputusan hakim, jaksa, polisi, dan BNN.
"Rehabilitasi itu boleh, tapi harus melalui hukum," ujarnya.
Wacana Komjen Budi segera disikapi negatif oleh pegiat antinarkoba maupun sesama penegak Hukum. Tak kurang Anang Iskandar, mantan Kepala BNN, mengingatkan pejabat penggantinya itu bahwa rehabilitasi pengguna narkoba merupakan amanat undang-undang.
"Undang-undang narkotika ini khusus dan mengesampingkan undang-undang umum seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Anang.
Rehabilitasi adalah faktor penting menangani kasus penyalahgunaan narkoba. Namun di Indonesia, data-data menunjukkan efektivitasnya masih rendah.
BNN pada 2015 menyatakan keberhasilan pecandu yang bersih setelah mengikuti rehabilitasi hanya 44 persen. Padahal, data yang sama menyebut bila 70 persen warga yang terjerat UU narkotika adalah pecandu.
Pecandu narkoba di Filipina serahkan diri (c) Reuters/erik de castro
Data lain dari PBB mencatat cuma 1 persen dari pengguna di Indonesia yang mengikuti program penyembuhan ketergantungan. Di seluruh dunia, angka rata-rata penanganan pecandu 16 persen. Artinya di Indonesia aparat lebih sering memenjarakan pengguna narkoba alih-alih mengirimnya ke pusat perawatan resmi negara. Data lain menunjukkan penanganan pecandu banyak dilakukan justru oleh lembaga partikelir, di antaranya adalah pesantren.
BNN hanya sanggup merehabilitasi 2.000 orang per tahun. Sisa 16 ribu orang ditangani oleh Kementerian Sosial dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Rinciannya 130 puskesmas dan rumah sakit, 140 tempat rehabilitasi yang dikelola Kementerian Sosial, serta 45 RS milik Polri.
Komjen Budi pernah berikrar merehabilitasi sekurang-kurangnya 100 ribu pecandu saban tahun. "(Target) belum tercapai karena sarana prasarana belum memadai."
Di Asia Tenggara, total pecandu narkoba diperkirakan 20 juta orang. Dari Indonesia menyumbang 5 juta pengguna. Persoalan rendahnya akses fasilitas rehabilitasi tak hanya terjadi di Indonesia.
Data Euro Centre menunjukkan cuma 10 persen pemakai bisa diobati. Sisanya justru mendekam di balik bui. Negara seperti Vietnam, Filipina, ataupun Thailand mengalami ketimpangan jumlah RS khusus obat-obatan dibanding pengguna yang menyerahkan diri kepada kepolisian.
Negara meminggirkan opsi rehabilitasi
Kebijakan politik Presiden Joko Widodo tidak memihak pilihan rehabilitasi. Anggaran rehabilitasi pecandu misalnya kepada Kementerian Sosial dipangkas, dari target 15 ribu orang hanya cukup menyembuhkan 9.000 pengguna. Tiap satu pecandu, anggaran yang dialokasikan negara sebesar Rp 3 juta.
"Kita memerlukan dukungan anggaran untuk bisa merehabilitasi semua pecandu narkoba yang memerlukannya," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.
Juru bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, menyatakan pemerintah saat ini memang lebih fokus mengedepankan pendekatan hukum terhadap kasus narkoba. Langkah konkretnya adalah menambah anggaran BNN dan Kepolisian untuk menangkap jaringan bandar. Hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba tetap diteruskan.
"Kita harus bersikap keras pada penyelundup dan pengedar, itu sebabnya mengapa Presiden mengambil pendekatan keras," kata Johan beberapa waktu lalu.
Di banyak lapas, pemotongan anggaran tahun ini menyebabkan banyak narapidana narkoba tidak memperoleh kesempatan rehabilitasi. Contohnya adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Pamekasan, Madura. Kapasitas ruang perawatan Lapas ditambah, namun tidak ada anggaran merawat narapidana
"Tahun 2015, kami masih menerima jatah anggaran rehabilitasi pecandu narkoba untuk 130 orang, tapi pada 2016 hanya 25 orang," kata Dokter Lapas Kristianto.
Rehabilitasi narapidana narkotika di LP Cipinang (c) 2016 merdeka.com/Imam Buhori
Situasi serupa juga ditemukan di Lapas Narkotika Kelas II A Cipinang Jakarta. Dari 3.090 penghuni, baru 700 bisa terlibat program rehabilitasi. "Berhubung anggaran terbatas orang-orang yang memenuhi syarat saja," kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan K Dusak.
Pegiat Hak Asasi Manusia, Puri Kencana Putri, menyatakan isu rehabilitasi narkoba seharusnya lebih dikedepankan. Agenda perang 'berdarah' yang setahun terakhir dirancang BNN sekadar jalan pintas tanpa menyelesaikan masalah utama.
"Jangan kriminalkan para pengguna. Lihat kerja negara untuk memberikan rehabilitasi," ujarnya.
Wakil Koordinator Lembaga Kontras ini mendukung peningkatan anggaran rehabilitasi, ditambah niat politik pemerintah mengevaluasi apa saja faktor menyebabkan rehabilitasi tidak berjalan efektif.
Putri mengusulkan ada evaluasi standar medis. BNN, Kepolisian, dan Kementerian Kesehatan wajib membandingkan data mana standar obat yang bisa masuk kategori narkotika. Selanjutnya, ada evaluasi penanganan oleh aparat hukum terhadap para tersangka kasus kejahatan narkoba.
"Jangan-jangan memang negara enggak mau tambah kerja saja dengan mengurus pecandu narkoba," ujarnya.
Tak kurang, lembaga swadaya Gerakan Anti Narkoba (GRANAT) yang mendukung hukuman mati bagi pengedar, menolak pendekatan keras jika menyangkut pencandu. Ketua GRANAT Henry Yosodiningrat dalam keterangan tertulis menegaskan pencandu narkotika tidak bisa sembuh jika sekadar dipenjara.
"Selain pecandu itu dipidanakan," ujarnya.
(mdk/ard)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi wilayah yang paling rendah penggunaan Narkotika di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPola menangani terorisme dan narkotika hampir mirip dengan rehabilitasi dilakukan BNN dan deradikalisasi dilakukan Densus 88 Antiteror.
Baca SelengkapnyaDi Indonesia tercatat 3,6 juta orang sebagai pengguna narkotika, dengan dinominasi oleh generasi muda.
Baca SelengkapnyaLuqman juga menduga terdapat penggunaan drone untuk menjatuhkan narkoba di titik koordinat yang sudah ditentukan oleh para pengedar.
Baca SelengkapnyaMasalah daya tampung lapas dan rutan tidak mudah diatasi.
Baca SelengkapnyaPara pelaku akan mendapatkan hukuman maksimal dengan penempatan tahanan di Lapas Super Maximum Security.
Baca SelengkapnyaSebab, kasus kejahatan narkoba di Jawa Tengah butuh perhatian khusus.
Baca Selengkapnya“Saya kira tidak, tidak ada tekanan sama sekali," tegas Staf Khusus Bidang Hubungan Internasional Kemenko Polkam Imipas, Ahmad Usmarwi Kaffah.
Baca SelengkapnyaHarus ada tindak tegas agar aparat tidak lagi terlibat dalam peredaran narkoba.
Baca SelengkapnyaPKS mengaku khawatir, jika bantuan tersebut malah digunakan judi online. Sehingga, judi online akan semakin merebak alih-alih nihil.
Baca SelengkapnyaMenurut Budi Gunawan, upaya tersebut tentunya dalam rangka menyelamatkan generasi muda bangsa dari peredaran narkoba.
Baca SelengkapnyaYusril membuka peluang untuk membahas penyusunan UU tentang pemindahan narapidana bersama DPR.
Baca Selengkapnya