Profil
Komunitas Utan Kayu
Yayasan Utan Kayu didirikan pada 4 Desember 2008 oleh beberapa wartawan majalah Tempo dan cendekiawan Indonesia karena terbatasnya kebebasan pers di masa Orde Baru saat dibredelnya tiga media besar yaitu TEMPO, Editor, dan Detik. Yayasan ini sebelumnya bergabung di Yayasan Kalam, yang merupakan bagian dari komunitas besar yang disebut Komunitas Utan Kayu (KUK) yang terbentuk pada tahun 1994. Komunitas yang beralamat di Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta ini adalah sebuah bentuk komunitas yang mendukung kebebasan khususnya politik (pada waktu itu) dan bidang kesenian. Komunitas ini dirintis oleh Pemimpin redaksi TEMPO Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Suara Pembaruan Aristides Katoppo, peneliti LIPI Moehtar Pabottinggi, jurnalis senior Radio Mara Mohamad Sunjaya, praktisi komunikasi UGM Ashadi Siregar, serta beberapa tokoh pers lainnya.
Berdirilah Institut Studi Arus Informasi (ISAI) sebagai sayap politik Komunitas Utan Kayu pada saat itu. Kegiatannya meliputi penerbitan buku-buku cepat "politik" dan membangun jaringan pers alternatif. ISAI menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi mahasiswa bidang komunikasi untuk pergerakan pro·demokrasi Ketika rezim Soeharto runtuh. Dari sini, ISAI juga berdirinya Rumah Produksi Berita Radio dengan nama Kantor Berita Radio 68H.
Komunitas ini juga mendirikan Galeri, yakni Galeri Lontar, sebuah galeri yang mendukung tema-tema eksperimental. Galeri ini diresmikan pada bulan Agustus 1997 dengan nama Teater Utan Kayu (TUK) dengan ruangan berkapasitas 150 penonton. TUK menekankan perkembangan seni pertunjukan yang tidak komersial. Selain itu, untk memberikan tempat pada perdebatan pemikiran yang bebas, KUK menciptakan jurnal kebudayaan KALAM (pertama kali terbit Februari 1994), yang memuat karya sastra (puisi sampai petikan novel) dan karya telaah (esai) dari berbagai disiplin. Yayasan Kalam dan Teater Utan Kayu adalah sayap artistik KUK.
KUK pernah terlibat dalam mengorganisir acara berskala internasional, yang meliputi International Puppetry Festival Jakarta (2006), Slingshort Film Festival (2006), dan Biennale Sastra Internasional (2009). Untuk mengakomodasi perluasan kegiatannya, pendiri dan manajer kemudian berinisiatif untuk membangun kompleks Komunitas Salihara di bawah Yayasan Utan Kayu pada tahun 2008, yang terdiri dari black box, galeri, perpustakaan, wisma, dan toko buku. Nama yayasan ini kemudian menjadi populer setelahnya.
Komunitas Salihara ini memiliki visi untuk memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghormati inovasi dan keragaman, dan menyebarkan apresiasi seni serta kegiatan intelektual. Visi dipecah dalam empat misi: 1) Untuk memfasilitasi penciptaan seni berkualitas tinggi dan produk intelektual dengan penghargaan khusus bagi kebaruan dan pluralitas, 2) Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni dan berpikir, 3) Mengupayakan perluasan kebebasan berpikir dan berekspresi, dan 4) Untuk bekerja dalam hubungan timbal balik dalam arti yang luas, dengan lembaga-lembaga dalam dan luar negeri, berdasarkan prinsip kesetaraan dan akuntabilitas. Komunitas Salihara telah menyelenggarakan beberapa festival nasional dan internasional, menjadi tuan rumah seniman lokal dan asing di semua genre seni, seni visual, teater, musik dan tari.
Riset dan Analisa oleh Kustin Ayuwuragil D.