Perma 2/2019, Jawaban Masyarakat Hadapi Sewenang-wenang Pemerintah
Merdeka.com - Pemerintah sebagai otoritas “Penguasa” yang dipilih oleh rakyat untuk merepresentasikan sosok pemimpin pada dasarnya berhak untuk mengambil keputusan atau melakukan tindakan tertentu berdasarkan kewenangan yang dimilikinya sesuai ketentuan perundang-undangan. Namun demikian, berdasarkan teori hukum yang berkembang saat ini, dapat dibedakan antara “wewenang” sebagai landasan suatu subjek hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasar hukum publik, serta “hak” sebagai landasan suatu subjek hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasar hukum perdata.
Namun demikian, pernahkah kita merasa putus asa terlebih saat menghadapi keputusan para penguasa (pemerintah) yang dalam kewenangannya berhak untuk mengambil tindakan terhadap suatu hal yang terjadi di tengah masyarakat? Terlebih ketika keputusan atau tindakan yang dilakukan para pejabat tersebut kemudian berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup keluarga kita dan masyarakat sekitar. Lantas apa yang terlintas dalam pikiran kita? Tentu rasa ingin melampiaskan amarah, namun apa yang bisa kita lakukan? Karena sejatinya pemerintah memiliki legitimasi mutlak dalam melakukan tindakannya sesuai hukum yang berlaku.
Sebagai refleksi, ketika mengingat kasus penggusuran warga Bukit Duri pada tahun 2016 oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dapat kita bayangkan warga sekitar yang sudah tinggal di pemukiman tersebut puluhan tahun, di mana mereka bahkan menggantungkan kehidupan mereka di sana, karena sumber pencaharian mereka mayoritas sebagai pedagang di sekitar pemukiman tersebut, dan kemudian mereka harus menerima kenyataan bahwa pemukiman mereka harus digusur oleh pemerintah. Warga pun hanya bisa termenung tanpa arah, meratapi nasib, sembari membayangkan di mana keluarga mereka harus menyenderkan bahu untuk beristirahat dan berlindung dari kejamnya dunia di bawah panasnya matahari.
-
Kapan orang merasakan kekecewaan? Kecewa adalah saat kamu merasakan kehilangan, meskipun kamu tidak memilikinya sejak awal. Kukira itulah kekecewaannya - rasa kehilangan untuk sesuatu yang tidak pernah dimiliki.
-
Siapa yang merasakan kekecewaan? 'Saya hanya ingin tahu saja, bagaimana rasanya makan bersama dengan keluarga.'
-
Mengapa orang merasa kecewa? Kecewa adalah puncak dari kemarahan yang sudah tidak bisa lagi dilampiaskan melalui emosi yang meluap-luap.
-
Siapa saja yang bisa merasakan kecewa? Rasa kecewa adalah sebuah emosi yang muncul saat harapan atau ekspektasi seseorang tak terpenuhi.
-
Bagaimana kamu merasa saat memutuskan untuk putus? Akhir-akhir ini aku merasa kita memang sudah tidak lagi sejalan. Aku sepertinya tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Bukan berarti kamu tidak baik, hanya saja mungkin kita berjodoh hanya sampai di sini saja.
-
Siapa yang sering merasa kecewa? Orang yang merasa kecewa biasanya tidak akan kembali berharap lebih atas sesuatu yang sebelumnya mereka harapkan.
Selain kasus penggusuran permukiman warga Bukit Duri tersebut, masih banyak lagi contoh kasus tindakan kesewenang-wenangan pemerintah dalam menjalankan jabatannya, tanpa terlebih dahulu mengindahkan hak-hak masyarakat sipil yang cenderung terpinggirkan.
Seperti halnya pada kasus pemblokiran akses internet pada warga di Papua pada pertengahan tahun 2019. Pemblokiran internet di Papua saat itu dilakukan pemerintah melalui Kemenkominfo menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah Papua seperti Fakfak, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Aksi demonstrasi besar-besaran itu kemudian berujung ricuh. Kasus ini kemudian ditutup dengan dikeluarkannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menyatakan Presiden Joko Widodo dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah terbukti bersalah atas pemblokiran dan pelambatan koneksi internet di Papua, di mana keduanya dinilai telah terbukti melakukan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pejabat atau Pemerintah (Onrechtmatig Overheidsdaad)Seperti yang pernah disampaikan oleh seorang Sejarahwan dan Politisi terkenal Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Acton, yakni “Power Tends to Corrupt, Absolute Power Corrupt Absolutely”.
Begitupula dengan para pemerintah dan penguasa yang memiliki kekuasaan. Sekelipun kekuasaan yang dimilikinya terbatas oleh hukum yang berlaku, akan tetapi kekuasaan yang dimiliki oleh mereka tetap berpotensi disalahgunakan atau mengarah ke penyelewengan kekuasaan. Oleh karena itu sebuah negara berdasarkan The Rule of Law memiliki salah satu ciri khas yakni menghadirkan suatu peradilan administrasi dalam wujud Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara hadir sebagai perwujudan tata kehidupan negara yang seimbang antara aparatur negara dan rakyat terlebih saat berhadapan dengan kekuasaan. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, adapun tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun demikian, obyek sengketa Tata Usaha Negara sendiri berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004. Lantas bagaimana dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam kuasa jabatannya? Sebelumnya, semua tindakan atau perbuatan melawan hukum oleh pemerintah dilakukan lewat pengadilan umum perdata. Namun demikian, pemerintah yang dianggap memiliki Power Oleh karena itu Mahkamah Agung menerbitkan sebuah aturan melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2019 tentang “Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Dengan kehadiran PERMA 2/2019 ini, kemudian lebih mengafirmasi lagi keadilan bagi warga masyarakat sipil saat berhadapan dengan pemerintah dan kekuasaannya.
Namun sayangnya, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mahkamah Agung pada tahun 2020, bahwa peradilan Tata Usaha Negara menjadi lingkup peradilan dengan jumlah perkara masuk yang paling sedikit, dan bahkan tingkat presentase penyelesaian yang paling kecil juga. Sangat jauh tentunya apabila dibandingkan dengan perkara peradilan umum yang meliputi perkara pidana maupun perdata. Dimana hal ini kemudian menunjukkan bahwa eksistensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menjalankan fungsinya di tengah masyarakat belum optimal.
Padahal, pada hakekatnya Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan sebuah wadah/medium yang berakuntabilitas terhadap suara rakyat yang berusaha mencari keadilan dan mempertahankan hak-hak masyarakat terutama ketika berhadapan dengan pemerintah yang notabene merupakan penguasa dalam hal menjalankan jabatannya. Oleh karena itu, sosialisasi terkait fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara harus lebih diperkuat sebagai prosedur hukum yang konkret dan transparan dalam menyelesaikan sengketa antara masyarakat dengan pemerintah agar pemerintah dalam menjalankan tugasnya dapat lebih berhati-hati dan memperhatikan asas-asas pemerintahan yang baik. Marilah kita buka ruang berdialog hukum seluas-luasnya dengan lebih peduli, aktif, dan berani bersuara untuk dapat membongkar stigma negatif yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa “Hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah”. (mdk/has)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dia pun merasa heran kenapa saat Indonesia sudah merdeka justru banyak orang yang lebih stress
Baca SelengkapnyaKetua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri mengaku sedih melihat pejabat negara yang hanya mau enak saja dan memikirkan kekuasaan semata.
Baca SelengkapnyaMenurut Burhanuddin, masyarakat saat ini semakin menutup mata terhadap substansi perkara.
Baca Selengkapnya