Profil
Pajongga Daeng Ngalle
Berdasarkan SK Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006, nama Pajonga Daeng Ngalie ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional lantaran jasa-jasanya dianggap berpengaruh bagi negara. Saat itu, dengan aktif berembuk dan berorganisasi serta mengikuti rapat dengan raja-raja Sulawesi Selatan di Jogjakarta, Pajonga Ngalie melalui konferensi yang digelar akhirnya memutuskan untuk mendukung penuh pemerintahan RI di Sulawesi sebagai satu-satunya pemerintah yang sah di bawah Gubernur Sam Ratulangi. Pria kelahiran tahun 1901 tersebut akhirnya mengumumkan bahwa daerah Sulawesi Selatan adalah bagian dari wilayah Indonesia. Melalui pengakuannya tersebut, Pajonga juga menjaga wilayah Polongbangkeng sebagai wilayah yang sementara menggantikan posisi Makassar yang kala itu sedang tidak aman. Taktik pengalihan pusat kegiatan ini rupanya berhasil menghapus politik adu domba yang dijalankan Belanda selama bertahun-tahun terhadap rakyat Sulawesi.
Bertekad untuk mementahkan keinginan Belanda yang berniat mengembalikan pemerintahan jajahan, Polongbangkeng yang dijaganya pun dengan cepat menjadi pusat kegiatan sekaligus wadah bersatunya para tokoh pemuda perjuangan dari sejumlah daerah di Sulawesi seperti Makassar, Takalor, Gowa, dan Banteng.
Mempunyai banyak pendukung untuk melawan dan memperkuat kedaulatan pemerintahan, Pajonga akhirnya membentuk laskar Gerakan Muda Bajoang sekaligus merangkap menjadi ketua. Selama menjadi ketua, Pajonga bahkan tidak sekalipun memberi celah pada Belanda untuk sekedar berkompromi.
Dikenal sebagai sosok yang ambisius, pantang menyerah, dan berani, Pajonga berhasil menakut-nakuti tentara Belanda (NICA) dan menjadikan dirinya sebagai target utama NICA karena pengaruh dan tingkah lakunya yang dianggap merepotkan.
Pada Juli 1946, diprakarsai oleh Dr. H. J van Mook daiadakan Konferensi Malino yang bertujuan untuk membentuk negara boneka yang disebut Negara Indonesia Timur (NIT). Tidak tinggal diam, Pajonga akhirnya berembug dan berhasil mengumpulkan sedikitnya 19 laskar untuk melakukan konferensi antar laskar se-Sulawesi Selatan dalam upaya menyatukan kekuatan, visi, dan strategi. Hingga terbentuklah LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) dengan Ranggong Daeng Romo sebagai ketua dan Robert Walter Monginsidi sebagai sekretaris. Terbentuknya LAPRIS ini menyebabkan serangan-serangan yang dilakukan pribumi semakin gencar dalam mengusir pendudukan Belanda dari tanah Sulawesi.
Pada tanggal 13 Februari 1948, Pajonga dan Laskar Lipan ditawan oleh Belanda di Pangkajane untuk dikembalikan ke Polombangkeng. Di sana, mereka diminta untuk pertemuan dan pembicaraan lebih lanjut ke Makassar. Namun, ternyata mereka justru dijebloskan ke dalam penjara selama dua tahun. Mereka kemudian dibebaskan dari semua tuntutan dan bebas dari tahanan menyusul Pengakuan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Setelah
Pengakuan Kedaulatan, Pajonga Daeng Ngalle bersama seluruh pimpinan badan perjuangan di Sulawesi Selatan menuntut pembubaran RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.